Rabu, 17 Maret 2010

Bertangkal, Merasa Sial, Ashabiyah (fanatik golongan), Nasab dan Warna Kulit, Meratapi Orang Yang Sudah Mati (Masalah Kepercayaan dan Tradisi 2)

Termasuk dalam bab kepercayaan dan tradisi ialah masalah bertangkal dan menggantungkan diri pada kubur dan sebagainya, dengan suatu angapan, bahwa tangkal dan kubur ini akan dapat menyembuhkan penyakit atau dapat melindungi diri dari mara-bahaya.

Pada abad ke 20 ini masih banyak orang yang menggantungkan tapal kuda di atas pintu rumahnva. Dan sampai hari ini di berbagai negara masih banyak orang-orang hendak memperbodoh orang bodoh. Mereka menulis tangkal-tangkal membuat beberapa garis azimatdan membacakan azimat-azimatnya itu dengan suatu anggapan, bahwa azimatnya itu dapat melindungi si pembawanya dari gangguan jin, sengatan kalajengking, kejahatan mata, kedengkian orang dan sebagainya.

Untuk menjaga keselamatan diri dan mengobati penyakit, ada cara-caranya sendiri yang sudah dikenal menurut ketetapan syariat Islam. Islam sangat menentang siapa yang mengabaikan cara-cara itu, dan siapa yang menggunakan cara-cara yang dilakukan pendusta-pendusta yang menyesatkan itu.
Rasulullah SAW pernah bersabda sebagai berikut:
"Berobatlah kamu, sesungguhnya Zat yang membuat penyakit, Dia pula yang membuat obatnya."
(HR. Ahmad)

"Kalau ada sesuatu yang lebih baik daripada obat-obatanmu, maka ketiga hal inilah yang lebih baik, yaitu minum madu, atau berbekam atau kei dengan api."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Ketiga cara berobat ini jiwanya dan analoginya dapat meliputi macam-macam cara pengobatan yang berlaku zaman kita sekarang. misalnya pengobatan dengan melalui mulut, operasi, kei dan elektronik. Adapun menggantungkan tangkal dan membaca mantera
untuk berobat dan menjaga diri adalah suatu kebodohan dan kesesatan yang bertentangan dengan sunnatullah dan menghilangkan tauhid
.

Uqbah bin 'Amir meriwayatkan, bahwa ada sepuluh orang berkendaraan datang ke tempat Rasulullah SAW Yang sembilan bai'at, tetapi yang satu ditahan. Kemudian mereka yang sembilan itu bertanya: mengapa dia ditahan? Rasulullah menjawab: karena di lengannya ada tangkal Kemudian si laki-laki tersebut memotong tangkalnya, maka dibai'atlah dia oleh Rasulullah SAW dan ia bersabda:
"Barangsiapa menggantungkan (tangkal), maka sungguh dia telah menyekutukan Allah."

(HR. Ahmad dan Hakim; dan lafaz Hadis ini adalah lafaz Hakim, dan rawi-rawi Ahmad adalah kepercayaan)

Dalam Hadisnya yang lain ia bersabda:
"Barangsiapa mengantungkan tangkal, maka Allah tidak akan menyempurnakan (imannya), dan barangsiapa menggantungkan azimat, maka Allah tidak akan mempercayakan kepadanya."
(HR. Ahmad, Abu Ya'la dan Hakim dan ia mensahkan)

"Dari lmran bin Hushain; sesungguhnya Rasulullah SAW pernah melihat di lengan seorang laki-laki ada gelang yang saya lihat dari kuningan kemudian Rasulullah bertanya: Celaka kamu, apa ini? Ia menjawab: Ini adalah 'wahinah' (sesuatu yang dapat melemahkan orang lain, sebangsa azimat). Maka jawab Rasulullah: Dia tidak akan menambah kamu, kecuali kelemahan, karena itu buanglah dia, sebab kalau kamu mati sedang wahinah itu masih ada pada kamu, maka kamu tidak akan bahagia selamanya."
(HR. Ahmad, lbnu Hibban; dan lbnu Majah tapi tanpa kata: buanglah .......)

Pendidikan ini sangat berpengaruh pada pribadi-pribadi sahabat Rasulullah SAW, sehingga mereka dapat, menggangkat diri mereka tanpa menerima kesesatan dan mempercayai kebatilan ini.

Isa bin Hamzah berkata: suatu ketika saya pernah masuk rumah Abdullah bin Hakam sedang waktu itu pada diri Abdullah ada tanda merah. Kemudian saya bertanya kepadanya: Apakah kamu memakai tangkal? Jawab Abdullah: A'udzu billahi min dzalik (aku berlindung diri kepada Allah dari yang demikian itu). Dalam satu riwayat Abdullah mengatakan: Lebih baik aku mati daripada bertangkal, sebab Rasulullah SAW telah bersabda:
"Barangsiapa menggantungkan sesuatu (tangkal), maka dia akan dibebaninya."

(HR. Termizi)

Diriwayatkan, bahwa suatu ketika Abdullah bin Mas'ud masuk rumah., sedang di leher isterinya ada kalung (bertangkal), maka ditariknya oleh lbnu Mas'ud dan dipotong-potongnya, kemudian ia berkata: Keluarga Abdullah harus jauh daripada menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan keterangan padanya. Kemudian ia berkata:
"Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya tangkal, azimat dan tambul adalah syirik. Para sahabat kemudian bertanya: Ya aba Abdirrahman! Tangkal dan azimat ini kami sudah tahu, tetapi apakah tambul itu? la menjawab: Tambul ialah sesuatu yang diperbuat oleh orang-orang perempuan supaya selalu dapat bercinta dengan suami-suami mereka."

(HR. lbnu Hibban dan Hakim)

Tambul adalah salah satu macam sihir.
Para ulama berkata: Tangkal yang dilarang; yaitu yang bukan bahasa Arab yang tidak dimengerti maksudnya, dan barangkali juga di situ terdapat sihir dan kata-kata kufur. Adapun kalimat yang dapat dimengerti dan di dalamnya terdapat penyebutan Allah, maka kalimat semacam itu justru disunnatkan. Jadi tangkal waktu itu berarti doa dan harapan kepada Allah untuk kesembuhan dan berobat.
Tangkal yang biasa dilakukan' orang-orang jahiliah tercampur dengan sihir, syirik dan azimat yang sama sekali tidak mempunyai makna yang dapat dimengerti.

Diriwayatkan bahwa lbnu Mas'ud pernah melarang isterinya berbuat semacam tangkal jahiliah ini, lantas isteri-nya berkata kepadanya: pada suatu hari saya keluar, kemudian si anu melihat saya maka melelelah airmataku; tetapi apabila saya memakai tangkal ini air mataku tidak meleleh, tetapi kalau kubuang meleleh lagi. Maka berkatalah lbnu Mas'ud kepadanya: Dia itu adalah syaitan yang apabila kamu taat kepadanya, kamu akan ditinggalkannya, tetapi jika kamu durhaka kepadanya, maka ia akan cucuk matamu dengan jarinya. Kalau kamu mau berbuat seperti apa yang dilakukan Nabi, adalah lebih baik dan lebih dapat diharapkan akan kesembuhanmu, yaitu: kamu percikkan air pada kedua matamu, sambil berdoa:
"Hilangkanlah penyakit ini hai Tuhan, sembuhkanlah aku, karena Engkaulah Zat yang dapat menyembuhkan, tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu, suatu kesembuhan yang tidak akan meninggalkan sakit."
(Riwayat lbnu Majah, Abu Daud dan Hakim)




Tathayyur (Merasa Sial)

Merasa sial karena sesuatu, tempat, waktu, seseorang dan sebagainya adalah termasuk mistik yang sangat laku dipasaran, secara berkelompok atau perorangan.

Di zaman dahulu pernah juga terjadi demikian misalnya tentang kaum Nabi Saleh, mereka ini berkata kepadanya:
"Kami merasa sial sebab kamu dan orang-orang yang bersamamu."
(Q. S. An-Naml: 47)

Fir'aun dan kaumnya jika ditimpa musibah, mereka menganggap kesialannya itu karena Musa dan orang-orang yang bersamanya. (Lihat Q. S. Al-A'raf: 131)

Dan banyak pula orang-orang kafir yang sesat itu kalau mendapat bala' dari Allah, mereka kemudian berkata kepada para juru dakwah dan Rasul:
"Kami merasa sial sebab kamu semua."
Q. S. Yasin: 18)

Tetapi para Rasul itu kemudian menjawab:
"Kesialanmu itu sebab kamu sendiri."
(Q. S. Yasin: 19)

Yakni sebab-sebab kesialanmu itu ada pada kamu sendiri, yaitu lantaran kamu kufur, ingkar dan memusuhi Allah dan Rasul-Nya.

Dalam satu susunan, Rasulullah SAW merangkaikan ramalan dan sihir, seperti sabdanya:
"Bukan dari golongan kami siapa yang merasa sial, atau minta diramalkan kesialannya, atau menenung, atau minta ditenungkan, atau mensihir, atau minta disihirkan."
(HR. Thabarani)

"Membuat garis di tanah, menganggap sial karena alamat dan melempar kerikil karena ada suatu kepercyaan, adalah termasuk menyembah selain Allah."
(HR. Abu Daud, Nasa'i dan Ibnu Hibban)

Tathayyur, satu hal yang berdiri tanpa landasan ilmu pengetahuan atau tanpa suatu kenyataan yang benar. Tathayyur, hanya berjalan mengikuti kelemahan dan membenarkan dugaan yang salah (waham).

"Ada tiga perkara yang tidak akan bisa selamat satupun, yaitu: menuduh, tathayyur dan hasud. Oleh karena itu kalau kamu menuduh jangan kamu nyatakan, dan kalau merasa sial jangan tarik (jangan kamu gagalkan pekerjaanmu), dan kalau kamu hasud, jangan lanjutkan."
HR. Thabarani)

Oleh karena ketiga perkara ini hanya semata-mata perasaan yang tidak berpengaruh pada suatu sikap dan perbuatan, maka dimaafkannya oleh Allah.

Dan diriwayatkan pula dari lbnu Mas'ud, Rasullullah SAW bersabda:
"Tathayyur (merasa sial) adalah syirik. "3 kali. Dan ibnu Mas'ud sendiri berkata: "....... tetapi Allah akan menghilangkannya dengan tawakkal."
(HR. Abu Daud dan Termizi)

Apa yang dimaksudkan oleh lbnu Mas'ud itu ialah

setiap orang di antara kita ini ada perasaan-perasaan seperti itu, tetapi perasaan semacam ini akan hilang lenyap dari hati orang yang selalu tawakkal

dan tidak membiarkan perasaannya itu tinggal dalam hati.




Memerangi Tradisi Jahiliah

Sebagaimana Islam memberantas pengikut-pengikutnya yang mengikuti kepercayaan-kepercayaan jahiliah dan mistiknya, karena akan berbahaya pada rasio, pekerti dan tingkah laku, maka begitu juga Islam akan memerangi tradisi-tradisi jahiliah yang selalu menghidup-hidupkan ashabiyah, kecongkakan, kesombongan dan membangga-banggakan golongan.

Tidak ada Ashabiyah (fanatik golongan) dalam Islam

Pertama kali yang diperbuat oleh Islam dalam persoalan ini yaitu: Islam tidak mengakui ashabiyah dengan segala macamnya, dan mengharamkan kaum muslimin menghidup-hidupkan setiap perasaan atau apa saja yang mengajak kepada ashabiyah.
Rasulullah sendiri telah mengumandangkan pernyataan, bahwa orang yang berbuat demikian tidak akan diakui sebagai ummatnya.
SabdaNabi:
"Bukan dari golongan kami siapa saja yang mengajak kepada ashabiyah, bukan pula dari golongan kami orang yang berperang karena ashabiyah, dan tidak juga termasuk golongan kami orang yang mati karena ashabiyah."
(HR. Abu Daud)

Tidak ada keistimewaan khusus karena warna kulit, karena jenis dan karena tanah air. Dan tidak halal seorang muslim merasa fanatik (ta'asshub) karena warna kulitnya melebihi kulit orang lain, karena golongannya melebihi golongan lain dan karena daerahnya melebihi daerah orang lain.

Dan tidak halal pula seorang muslim membela golongannya karena ta'asshub baik dalam kebenaran, kebatilan, keadilan dan kecongkakan. Wailah bin al-Asqa' pernah bertanya kepada Rasulullah: apakah

yang disebut ashabiyah itu? Maka jawab Nabi: yaitu kamu membela golonganmu pada kezaliman

.

Dan Allah telah juga berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan sebagai saksi karena Allah sekalipun terhadap diri-dirimu sendiri, atau terhadap kedua orang tua dan kerabatmu."
(Q. S. An-Nisa': 135)

"Dan jangan sampai karena kebencianmu terhadap suatu kaum menyebabkan kamu tidak berlaku adil."
(Q. S. Al-Maidah: 8)

Rasulullah menerjemahkan mafhum kalimat ini yang sudah sangat popular di kalangan orang jahiliah dan diartikan menurut lahiriahnya. Maka sabda beliau:
"Tolonglah saudaramu yang menganiaya ataupun yang dianiaya."

Setelah Rasulullah menyampaikan terjemahan ini kepada para sahabatnya yang sesudah lebih dahulu meresapkan iman ke dalam hati mereka, karena apa yang diucapkan oleh Rasulullah itu ada maksud lain, maka para sahabatnya merasa heran dan tercengang. Justru itu mereka kemudian bertanya:

"Ya, Rasulullah! Kami bisa saja menolong saudara kami yang dizalimi, tetapi bagaimana kami harus menolong saudara kami yang berbuat zalim? Maka jawab Nabi: yaitu kamu tahan dia dari berbuat zalim. Yang demikian itu berarti suatu pertolongan buat dia."
(Riwayat Bukhari)

Dari sini kita dapat mengetahui, bahwa

setiap anjuran di kalangan kaum muslimin kepada fanatik daerah seperti ajakan untuk fanatik chauvinisme atau ajakan untuk fanatik kepada golongan sentris seperti nasionalisme, adalah propaganda jahiliah yang sama sekali tidak diakui oleh Islam, oleh Rasulullah dan oleh Al-Qur'an

.

Islam sama sekali tidak mau mengakui setiap loyalitas yang di luar kepercayaan Islam. Tidak juga mengakui setiap perserikatan (legued) yang bukan ukhuwah Islamiah. Dan tidak pula mengakui setiap ciri yang membedakan manusia, selain ciri iman dan kafir. Oleh karena itu setiap orang kafir yang menentang Islam adalah musuh orang Islam kendati dia bertetangga dan salah seorang dari anggota keluarga, bahkan kendati dia itu saudara kandung sendiri. Sebab Allah telah berfirman:

"Kamu tidak dapati kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir itu menaruh cinta kepada orang yang ingkar kepada Allah dan RasulNya sekalipun mereka yang ingkar itu ayah-ayah mereka atau anak-anak mereka atau saudara-saudara mereka atau keluarga mereka."
(Q. S. Al-Mujadalah: 22)

"Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu jadikan ayah-ayah kamu dan saudara-saudara kamu sebagai kekasih (ketua), jika mereka itu lebih suka kufurdaripada beriman."
(Q. S. Sat-Taubah: 23)




Tiada Perbedaan Nasab dan Warna Kulit keculi Takwanya

Imam Bukhari meriwayatkan, bahwa Abu Dzar dan Bilal al-Habasyi saling bercaci-maki sampai memuncak kemarahan-nya. Kemudian Abu Dzar berkata kepada Bilal: Hai anaknya perempuan hitam! Mendengar ucapan itu, Bilal mengadu kepada Nabi. Maka kata Nabi kepada Abu Dzar:
"Hai Abu Dzar, apakah kau caci dia sebab ibunya? Kalau begitu sungguh kamu seorang yang masih diliputi perasaan jahiliah." (HR. Bukhari)

"Dan Abu Dzar, sesungguhnya Rasulullah SAW pernah berkata kepadanya: lihatlah, sesungguhnya engkau tidak lebih baik daripada orang yang berkulit merah dan tidak pula lebih dan orang yang berkulit hitam, melainkan kamu lebihkan dirimu dengan taqwallah."
(HR. Ahmad)

"Semua kamu keturunan Adam, sedang Adam dicipta dari tanah."
(HR. Bazzar)

Dengan demikian, Islam mengharamkan setiap muslim berjalan mengikuti perasaan jahiliah, dalam persoalan menyombongkan diri karena nasab dan keturunan, karena ayah dan datuk. Seperti apa yang biasa dikatakan oleh satu sama lain: saya anak si anu, saya keturunan anu, sedang engkau asal dari keturunan anu. Saya berkulit putih sedang engkau hitam. Saya orang Arab sedang engkau bukan orang Arab. Apa nilai keturunan ini kalau mereka itu semua juga berasal dari satu keturunan? Misalkan nasab itu mempunyai nilai, tetapi apa kelebihan seseorang atau apa pula dosanya kalau dia berasal dari keturunan ayah ini dan ayah itu?
Rasulullah pernah bersabda:

"Sesungguhnya nasab-nasabmu ini bukan menjadi sebab kamu boleh mencaci kepada seseorang; kamu semua adalah anak-cucu Adam........ Tidak ada seorangpun yang melebihi orang lain, melainkan karena agama dan taqwanya."
(HR. Ahmad)

"Manusia seluruhnya berasal dan Adam dan Hawa. Sedang Allah tidak menanyaimu tentang keturunanmu dan nasabmu nanti pada hari ki'amat; sesungguhnya semulia-mulia kamu di hadapan Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu." (HR. lbnu Jarir)

Rasulullah SAW telah menumpahkan kemarahannya kepada orang-orang yang menyombongkan diri lantaran ayah dan datuk-datuknya, dengan ungkapan yang tajam dan menggetarkan hati. Beliau mengatakan:

"Hendaklah orang-orang yang menyombongkan ayah-ayahnya yang sudah mati itu mau berhenti. Mereka yang demikian itu hanyalah bara neraka. Atau mereka itu lebih rendah di hadapan Allah daripada kumbang yang mengguling-gulingkan tahi dengan hidungnya; Allah telah menghapuskan kesombongan jahiliah dan kecongkakannya lantaran ayah. Seseorang ada yang beriman dan bertaqwa, dan ada juga yang durhaka dan celaka; manusia seluruhnya anak-cucu Adam, sedang Adam dibuat dari tanah." (HR. Abu Daud, Termizi dan Baihaqi dengan sanad hasan)

Hadis ini merupakan satu peringatan kepada orang-orang yang menganggap besar lantaran nenek-moyangnya dulu adalah keturunan raja-raja dan kaisar. Mereka yang demikian itu hanyalah bara neraka jahanam, seperti penegasan Rasulullah SAW di atas.
Dalam Haji Wada' yang dihadiri oleh beribu-ribu manusia yang ingin mendengarkan tentang Islam di bulan haram dan di tanah haram, Rasulullah SAW pernah menyampaikan pidatonya yang dikenal dengan Khuthbatul Wada' (khutbah perpisahan). Dalam khutbah itu Rasulullah menegaskan beberapa prinsip, yang bunyinya sebagai berikut:

"Hai ummat manusia! Sesungguhnya Tuhanmu hanya-lah satu. Ingatlah Tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas orang lain Arab; tidak pula ada kelebihan bagi orang lain Arab atas orang Arab; tidak juga ada kelebihan orang yang berkulit merah atas orang kulit hitam; dan tidak pula orang kulit hitam atas orang kulit merah, melainkan lantaran taqwa, sebab sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu ialah yang paling bertaqwa kepada Allah."


(HR. Baihaqi)




Meratapi Orang Yang Sudah Mati

Di antara tradisi yang diberantas oleh Islam, yaitu tradisi jahiliah yang berkenaan dengan masalah kematian, misalnya: meratap. teriak-teriak dan berlebih-lebihan dalam melahirkan kesusahan dan kedukaan.
Islam mengajar ummatnya, bahwa mati hanyalah sekedar pindah dari satu tempat ke tempat lain, bukan musnah sama sekali, tidak pula hilang begitu saja. Sedang duka tidak dapat menghidupkan orang yang sudah mati dan tidak dapat menolak takdir Allah. Oleh karena itu setiap mu'min harus menerima kematian ini sebagaimana halnya menerima musibah, yaitu harus sabar dengan mencari keridhaan Allah serta mengambil suatu pelajaran dengan mengharapkan pertemuan abadi di akhirat, sambil mengulang-ulang kalimat inna lillahi wainna ilaihi raji'lin (sesungguhnya kami adalah milik Allah, dan kepada-Nyalah kami akan kembali). Adapun apa yang diperbuat oleh orang-orang jahiliah, adalah mungkar dan haram yang tidak diakui oleh Rasulullah SAW sebagaimana sabdanya:

"Tidak termasuk golongan kami orang yang menampar pipi dan merobek-robek pakaian dan menyeru dengan seruan jahiliah." (HR. Bukhari)

Tidak halal seorang muslim memakai tanda khusus untuk berkabung atau tidak berhias atau mengganti pakaian luka dan sedih. Kecuali isteri karena ditinggal mati oleh suaminya, dia harus melakukan berkabung selama empat bulan sepuluh hari guna memenuhi hak suami dan demi ikatan suci yang telah menghubungkan antara keduanya sehingga dia tidak menampakkan perhiasan dan tidak menjadi sasaran mata orang-orang yang hendak meminangnya selama dalam iddah itu. Yang oleh Islam dianggap sebagai melanjutkan beberapa hak suami dalam perkahwinannya yang telah terdahulu dan sebagai anyaman atas perkawinan yang lalu. Tetapi kalau yang mati itu kebetulan bukan suami, misalnya ayah, anak atau saudara, maka tidak halal seorang perempuan berkabung lebih dari tiga hari.
Zainab binti Abu Salamah meriwayatkan dari Ummu Habibah isteri Nabi SAW ketika ayahnya, Abu Sufyan meninggal dunia. Dia juga meriwayatkan dari Zainab binti Jahsy ketika saudaranya yang laki-laki meninggal dunia. Kedua isteri Nabi ini tidak memakai wangi-wangian, kemudian ia berkata: "Demi Allah, saya tidak lagi memerlukan wangi-wangian, namun saya mendengar Rasulullah SAW bersabda:

"Tidak halal seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berkabung karena kematian, lebih dari tiga malam, kecuali atas kematian suami, maka harus berkabung empat bulan sepuluh hari."
(Riwayat: Bukhari)

Berkabungnya isteri karena meninggalnya suami adalah wajib yang samasekali tidak boleh diabaikannya, sebab ada satu riwayat sebagai berikut:

"Telah datang seorang perempuan kepada Nabi SAW kemudian ia berkata: sesungguhnya anak perempuanku ditinggal mati oleh suaminya dan matanya menjadi bengkak (karena menangis), apakah boleh saya suruh dia memakai celak? Maka jawab Rasulullah: Tidak! Dua kali atau tiga kali, tiap kali ditanya selalu menjawab tidak."
(HR. Bukhari dari Ummu Habibah)

Ini menunjukkan, haramnya berhias dalam waktu yang telah ditentukan. Adapun susah tanpa melewati batas dan menangis tanpa
teriak-teriak, termasuk masalah fitrah (pemb'awaan). Oleh karena itu tidaklah berdosa.

Diriwayatkan, bahwa Umar lbnul-khattab pernah mendengar sementara perempuan menangis karena kematian Khalid bin al-Walid, kemudian ada sementara orang laki-laki yang hendak melarangnya, maka kepada si laki-laki tersebut, Umar berkata: "Biarkanlah dia menangis karena kematian Abu Sulaiman ini (Khatid bin Walid), selama tangisnya itu tidak menabur-naburkan debu di atas kepalanya dan tidak teriak-teriak."

Sumber: HALAL DAN HARAM DALAM ISLAM, Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi

0 komentar:

Posting Komentar

Design by Abdul Munir Visit Original Post Islamic2 Template