Minggu, 21 Maret 2010

Nabi Ilyas AS dan Malaikat

Ketika sedang beribadah datanglah malaikat kepada Nabi Ilyas A.S. Malaikat itu datang untuk menjemput ruhnya. Mendengar berita itu, Ilyas menjadi sedih dan menangis.
"Mengapa engkau bersedih?" tanya malaikat maut.
"Tidak tahulah." Jawab Ilyas.
"Apakah engkau bersedih karena akan meninggalkan dunia dan takut menghadapi maut?" tanya malaikat.
"Tidak. Tiada sesuatu yang aku sesali kecuali karena aku menyesal tidak boleh lagi berzikir kepada Allah, sementara yang masih hidup boleh terus berzikir memuji Allah," jawab Ilyas.

Saat itu Allah lantas menurunkan wahyu kepada malaikat agar menunda pencabutan nyawa itu dan memberi kesempatan kepada Nabi Ilyas berzikir sesuai dengan permintaannya. Nabi Ilyas ingin terus hidup semata-mata karena ingin berzikir kepada Allah. Maka berzikirlah Nabi Ilyas sepanjang hidupnya.
"Biarlah dia hidup di taman untuk berbisik dan mengadu serta berzikir kepada-Ku sampai akhir nanti." Kata Allah.

Keberanian Saad bin Abu Waqqash ra.

Ibnu Asakir telah mengeluarkan dari Az-Zuhri dia telah berkata: Pada suatu hari Rasulullah SAW telah mengutus Sa'ad bin Abu Waqqash ra. untuk mengetuai suatu pasukan ke suatu tempat di negeri Hijaz yang dikenal dengan nama Rabigh. Mereka telah diserang dari belakang oleh kaum Musyrikin, maka Sa'ad bin Abu Waqqash ra. mengeluarkan panah-panahnya serta memanah mereka dengan panah-panah itu. Dengan itu, maka Sa'ad bin Abu Waqqash ra. menjadi orang pertama yang memanah di dalam Islam, dan peristiwa itu pula menjadi perang yang pertama terjadi di dalam Islam. (Al-Muntakhab 5:72)

Ibnu Asakir mengeluarkan dari Ibnu Syihab, dia berkata: Pada hari pertempuran di Uhud Sa'ad bin Abu Waqqash ra. telah membunuh tiga orang Musyrikin dengan sebatang anak panah. Dipanahnya seorang, lalu diambilnya lagi panah itu, kemudian dipanahnya orang yang kedua dan seterusnya orang yang ketiga dengan panah yang sama. Ramai para sahabat merasa heran tentang keberanian Sa'ad itu. Maka Sa'ad berkata: Nabi SAW yang telah memberikanku keberanian itu, sehingga aku menjadi begitu berani sekali. (Al-Muntakhab 5:72)

Bazzar telah mengeluarkan dari Abdullah bin Mas'ud ra. dia berkata: Pada hari pertempuran di Badar, Sa'ad bin Abu Waqqash ra. telah menyerang musuh dengan berkuda dan dengan berjalan kaki. (Majma'uz Zawa'id 6:82)

Pahlawan Neraka

Suatu hari satu pertempuran telah berlaku di antara pihak Islam dengan pihak Musyrik. Kedua-dua belah pihak berjuang dengan hebat untuk mengalahkan antara satu sama lain. Tiba saat pertempuran itu diberhentikan seketika dan kedua-dua pihak pulang ke markas masing-masing.
Di sana Nabi Muhammad S.A.W dan para sahabat telah berkumpul membincangkan tentang pertempuran yang telah berlaku itu. Peristiwa yang baru mereka alami itu masih terbayang-bayang di ruang mata. Dalam perbincangan itu, mereka begitu kagum dengan salah seorang dari sahabat mereka iaitu, Qotzman. Semasa bertempur dengan musuh, dia kelihatan seperti seekor singa yang lapar membaham mangsanya. Dengan keberaniannya itu, dia telah menjadi buah mulut ketika itu.

"Tidak seorang pun di antara kita yang dapat menandingi kehebatan Qotzman," kata salah seorang sahabat.
Mendengar perkataan itu, Rasulullah pun menjawab, "Sebenarnya dia itu adalah golongan penduduk neraka."
Para sahabat menjadi hairan mendengar jawapan Rasulullah itu. Bagaimana seorang yang telah berjuang dengan begitu gagah menegakkan Islam boleh masuk dalam neraka. Para sahabat berpandangan antara satu sama lain apabila mendengar jawapan Rasulullah itu.
Rasulullah sedar para sahabatnya tidak begitu percaya dengan ceritanya, lantas baginda berkata, "Semasa Qotzman dan Aktsam keluar ke medan perang bersama-sama, Qotzman telah mengalami luka parah akibat ditikam oleh pihak musuh. Badannya dipenuhi dengan darah. Dengan segera Qotzman meletakkan pedangnya ke atas tanah, manakala mata pedang itu pula dihadapkan ke dadanya. Lalu dia terus membenamkan mata pedang itu ke dalam dadanya."

"Dia melakukan perbuatan itu adalah kerana dia tidak tahan menanggung kesakitan akibat dari luka yang dialaminya. Akhirnya dia mati bukan kerana berlawan dengan musuhnya, tetapi membunuh dirinya sendiri. Melihatkan keadaannya yang parah, ramai orang menyangka yang dia akan masuk syurga. Tetapi dia telah menunjukkan dirinya sebagai penduduk neraka."
Menurut Rasulullah S.A.W lagi, sebelum dia mati, Qotzman ada mengatakan, katanya, "Demi Allah aku berperang bukan kerana agama tetapi hanya sekadar menjaga kehormatan kota Madinah supaya tidak dihancurkan oleh kaum Quraisy. Aku berperang hanyalah untuk membela kehormatan kaumku. Kalau tidak kerana itu, aku tidak akan berperang."

Riwayat ini telah dirawikan oleh Luqman Hakim.

Tirani Penguasa Taghut

"Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Rabb-nya, karena sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi." (Q.S.Ghafir: 26)

Ayat ini adalah penggalan dari ucapan Fir'aun kepada penduduk Mesir, meminta kepada penduduk Mesir untuk memberikan izin -atau setidaknya memberikan kebebasan- bagi dia untuk membunuh Musa as. Hal ini dilakukannya dengan pemutar balikan fakta bahwa Musa lah yang menukar agama mereka dan mengajak untuk membuat kerusakan di muka bumi. Dari rekaman sejarah yang disetir oleh Al-qur'an ini jelaslah bahwa salah satu cara bagi para penguasa diktator untuk menghancurkan gerak dakwah islamiyah adalah dengan membuat opini seolah-olah para dai merupakan bagian dari orang-orang yang mengajak pada kehancuran dan kebinasaan. Usaha-usaha yang dilancarkan para penguasa ini menjadi semakin mulus dengan dukungan media informasi yang ada dalam genggaman mereka, sementara itu umat masih dalam kebodohannya (tidak mengetahui hakekat kebenaran Islam) karena dakwah belum seluruhnya menyentuh kehidupan mereka. Pada akhirnya penguasa itu semakin leluasa menggebuk dan meghancurkan para dai.

Betapa sering kita mendengar ungkapan-ungkapan para penguasa kepada masyarakat : "apakah kalian mengira bahwa mereka ( para aktivis gerakan Islam) itu bekerja untuk Islam?? Sesungguhnya mereka hanya mencari kekuasaan dengan nama Islam!!". Sementara itu mulailah drama lanjutan yang diciptakan oleh para penguasa untuk membentuk opini bahwa apa yang mereka katakan itu adalah sebuah kebenaran.

Fenomena-fenomena semacam ini terus berulang dari zaman ke zaman, dalam bentuk dan sarana yang bermacam-macam, sehingga memberikan kesadaran bagi para dai yang ikhlas menempatkan dirinya dalam barisan dakwah untuk berupaya mengantisipasi kenyataan-kenyataan tersebut. Sebagaimana kemampuan Musa as. membendung kekuatan Fir'aun. Babak akhir menentukan Musa tampil menjadi pemenang dalam memperjuangkan kalimatullah.

PRINSIP PARA DAI MENGHADAPI TIRANI PENGUASA

Ada beberapa hal menarik yang menjadi renungan bagi para dai dalam kisah Musa ini, yaitu kemenangannya dalam menghadapi tirani yang begitu kokoh dan kuat ini. Kemenangan itu selain sesuatu ketentuan mutlaq bahwa kebenaran akan mengalahkan kebatilan sebagaimana firman Allah :

Dan katakanlah : "yang benar telah datang dan yang bathil telah lenyap", sesungguhnya yang bathil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap. (al-Isra; 81).

Juga ada hal yang patut diteladani oleh para dai, sesuai dengan tujuan diceritakannya kisah para nabi sebagaimana firman Allah :

"Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah dengannya kami teguhkan hatimu" (Hud; 120).

Di antara prinsip yang dapat dipetik dari kisah nabi Musa as ini adalah:

1. Tsiqah (kepercayaan penuh ) dan keimanan kepada Allah swt.

Kekuatan yang dipamerkan oleh Firaun pada hakikatnya adalah kekuatan yang sangat terbatas baik secara kapasitas kekuatan maupun rentang waktu, sebaliknya ada kekuatan yang maha diatas segala kekuatan yaitu kekuatan Allah swt. Keyakinan inilah yang tumbuh subur dalam hati Nabiyullah Musa. Keyakinan yang terus memompa kekuatan Musa as untuk terus tegar menghadapi kediktatoran Firaun, demikian ini digambarkan Allah dalam firman-Nya :

"dan lemparkanlah tongkatmu. Maka tatkala (tongkat itu menjadi ular dan) Musa melihatnya bergerak-gerak seolah-olah dia seekor ular yang gesit, larilah ia berbalik ke belakang tanpa menoleh. (kemudian Musa diseru): "Hai Musa datanglah kepadaku dan janganlah kamu takut. Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang aman." ( al-Qashash : 31)

Dengan bekal tsiqah yang kuat kepada Allah swt ini Musa as kembali berdakwah kepada Firaun mengalahkan segala rasa keraguannya akan kekuatan Firaun.

2. Menghimpun orang-orang shaleh dalam barisan dakwah.

Dakwah secara sendirian membuat kekuatan Musa menurun dan kekhawatiran akan keselamatan dirinya pun semakin menebal. Sehingga pada perjalanan selanjutnya Musa as memutuskan untuk keluar dari negeri Mesir dan bertemu dengan nabi Syuaib. Kekuatan kebersamaan yang disemai nabi Syuaib as kembali memupuk keberaniannya. Dan keberanian menghadapi tirani penguasa itu semakin mantap manakala Musa memohon kepada Allah swt untuk menghimpun saudaranya Harun dalam barisan dakwah, sebagaimana Allah berfirman :

"Dan saudaraku Harun dia lebih fasih lidahnya daripadaku, maka utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan perkataanku"(al-Qashash: 34)

Dalam hal ini Musa as mampu menilai hal-hal yang kurang dalam dirinya dalam berdakwah, sehingga kebersamaan dalam dakwah menjadi salah satu pilihan Musa as. Kemampuan seorang dai pun harus cerdas dalam mengenal potensi orang-orang disekelilingnya yang kemudian dapat diberdayakan dalam menopang gerak dakwah. Demikianlah kemampuan Harun dalam berdialog salah satu yang diharapkan Musa dalam menjalankan misi ilahiyahnya.

3. Menunjukan mu'jizat dari Allah swt.

Mu'jizat Allah swt yang diberikan kepada Musa as memang sangatlah banyak, hal inilah yang kemudian membantunya menaklukan Firaun. Dalam kontek kekinian mu'jizat Allah tidak lagi diturunkan pada hambanya, karena memang nu'jizat hanya diberikan kepada para Rasul, namun bukan berarti ini menjadi alasan pokok yang menghambat para dai untuk mengurungkan niat menjalani medan dakwah. Setidaknya ada mu'jizat nabi Muhammad saw yang hingga kini kekal yang bisa digunakan para dai dalam menegakan kalimah Allah yaitu Al-qur'an. Lihatlah bagaimana para shahabat gigih menunjukan kemu'jizatan al-Qur'an ini. Bagaimana raja najasi tunduk kepada Islam memlalui tangan-tangan para shabat, semuanya dilakukan dengan menunjukan mu'jizat Allah ini.

Demikianlah kekuatan para dai pada intinya terletak pada kekuatan iman dan inabahnya (kembalinya) pada keyakinan penuh kepada Allah. Ingatlah bahwa hanya dengan menunjukan mu'jizat Allah terbesar (al-Qur'an) musuh-musuh Islam akan mengakui kemulian dan keagungan Islam. (sikh).

Oleh :
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Mengimani Rububiyah Allah SW

Mengimani rububiyah Allah SWT maksudnya mengimani sepenuhnya bahwa Dia-lah Rabb satu-satunya, tiada sekutu dan tiada penolong bagi-Nya.

Rabb adalah yang berhak menciptakan, memiliki serta memerintah. Jadi, tidak ada pencipta selain Allah, tiada pemilik selain Allah, dan tidak ada perintah selain perintah-Nya.

Allah SWT telah berfirman :

"Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanya hak Allah, Maha Suci Allah, Rabb semesta alam." ( Al-A'raf: 54).

"…Yang (berbuat) demikian itulah Allah Rabbmu, kepunyaan-Nyalah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tidak mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari." (Faathir: 13).

Tidak ada makhluk yang mengingkari kerububiahan Allah SWT, kecuali orang yang congkak sedang ia tidak meyakini kebenaran ucapanya, seperti yang dilakukan Fir'aun ketika berkata kepada kaumnya, "Akulah Tuhanmu yang paling tinggi." (An-Naazi'aat: 24), dan juga ketika berkata, "Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku." (Al-Qashhash: 38)

Allah SWT berfirman,

"Dan mereka mengingkarinya karena kedzaliman dan kesombongan mereka padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya." (An-Naml: 14).

Nabi Musa berkata kepada Fir'aun, "Sesungguhnya kamu telah mengetahui bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Rabb yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata; dan sesungguhnya aku mengira kamu, hai Fir'aun, seorang yang akan binasa." (Al-Israa': 102).

Oleh karena itu, sebenarnya orang-orang musyrik mengakui Rububiyah Allah, meskipun mereka menyekutukan-Nya dalam uluhiyah (penghambaan).

Allah SWT berfirman yang artinya,

"Katakanlah: 'Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?' Mereka akan menjawab, 'Kepunyaan Allah.' Katakanlah: 'Maka apakah kamu tidak ingat?' Katakanlah: 'Siapakah yang Empunya langit yang tujuh dan yang Empunya 'Arsy yang besar?'Mereka akan menjawab: 'Kepunyaan Allah.' Katakanlah: 'Maka apakah kamu tidak bertakwa?' Katakanlah: 'Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu, sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?' Mereka akan menjawab: 'Kepunyaan Allah.' Katakanlah: '(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?" (Al-Mu'minun: 84-89).

"Dan sesungguh jika kamu bertanya kepada mereka: 'Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?' niscaya mereka akan menjawab, 'Semuanya diciptakan oleh Yang Maha perkasa lagi Maha Mengetahui." (Az-Zukhruf: 9).

"Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka, 'Siapakah yang menciptakan mereka?' niscaya mereka menjawab: 'Allah,' maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?" (Az-Zukhruf: 87).

Perintah Allah SWT mencakup perintah alam semesta (kauni) dan perintah syara (syar'i). Dia adalah Pengatur alam, sekaligus sebagai Pemutus seluruh perkara, sesuai dengan tuntutan hikmah-Nya. Dia juga pemutus peraturan-peraturan ibadah serta hukum-hukum muamalat sesuai dengan tuntutan hikmah-Nya. Oleh karena itu, barang siapa menyekutukan Allah dengan seorang pemutus ibadah atau pemutus muamalat, maka dia berarti telah menyekutukan Allah serta tidak mengimani-Nya.

(Bersambung)


Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Pengantar Kajian Tauhid

Urgensi tauhid dalam kehidupan muslim sangat besar pengaruhnya, sebagai dasar utama yang dibangun di atasnya seluruh ajaran Islam. Periode dakwah yang dilakukan Rasulullah saw. di Mekah menegaskan betapa tauhid sangat urgen pengaruhnya. Ayat-ayat Alquran yang diturunkan Allah pada fase itu fokus utamanya berbicara tentang tauhid.

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan petunjuk kepada cahaya iman, dien yang lurus yaitu agama Islam melalui hamba pilihan-Nya Muhammad saw. Dan yang telah meneguhkan hati para hambanya yang teguh dalam memegang akidah yang lurus. Selawat dan salam teriring kepada teladan kita Rasulullah Muhammad saw, Nabi yang terakhir, juga kepada para keluarga dan para sahabatnya serta kaum muslimin/muslimat yang teguh mengikuti ajaran dan akidahnya sampai akhir jaman, amin.

Urgensi tauhid dalam kehidupan muslim sangat besar pengaruhnya, sebagai dasar utama yang dibangun di atasnya seluruh ajaran Islam.

Periode dakwah yang dilakukan Rasulullah saw. di Makkah menegaskan betapa tauhid sangat urgen pengaruhnya. Ayat-ayat Alquran yang diturunkan Allah pada fase itu fokus utamanya berbicara tentang tauhid.

Generasi sahabat, mereka yang dibina Rasulullah saw. adalah manusia-manusia yang bertauhid, yang tidak dijumpai di permukaan bumi ini sebelum dan sesudahnya.

Tauhid mampu merubah manusia menjadi manusia yang perilakunya sesuai dengan keinginan Allah SWT. Mungkinkah kita menjadi orang yang bertauhid seperti yang diinginkan? Dengan berdoa dan memohon taufik dari-Nya Insya Allah kita bisa mencapai ke arah itu minimal pemahaman tauhid kita tidak melenceng dari rambu-rambu yang ditetapkan Allah.

Semua itu memerlukan pemahaman yang benar akan tauhid dari sumbernya yang autentik yaitu Alquran dan Sunah serta kitab-kitab tauhid yang diakui keabsahannya oleh ulama-ulama Islam dahulu dan sekarang.

Untuk mendapatkan pemahaman yang benar dari sumber ilmu yang autentik, maka perlu merujuk kepada pehamaman generasi teladan umat yaitu generasi salaf. Kelurusan dan keteladanannya dalam beragama dan beraqidah tidak diragukan lagi karena mereka mewarisi apa yang telah diajarkan Rasulullah saw.

Allah SWT telah memberikan penilaian terhadap generasi tersebut akan keteladanan dan keutamaannya dari umat-umat atau generasi-generasi lainnya. Allah SWT telah berfirman,

"Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf (baik)dan mencegah kepada yang mungkar (jahat) dan beriman kepada Allah." (Ali Imran: 110).

Demikian juga sabda Rasulullah saw,

"Sebaik-baik generasi ialah generasiku (generasi yang sejaman dengan Rasulullah saw yang dalam hal ini adalah sahabat ra), kemudian generasi sesudah mereka (generasi yang belajar Islam dari sahabat Nabi, dalam hal ini disebut generasi tabi'in), kemudian generasi yang sesudah mereka (generasi yang belajar Islam dari tabi'in, dalam hal ini disebut generasi tabi'it tabi'in) kemudian setelah itu datang pula kaum-kaum yang persaksiannya mendahului sumpahnya (yakni sudah banyak orang yang tidak bisa dipercaya sehingga memberi persakssian dan sumpah tanpa diminta dan persaksian serta sumpahnya itu palsu)." (HR Bukhari).

Jadi generasi umat yang dapat dijadikan suri tauladan adalah tiga generasi semenjak generasi Rasulullah saw sampai generasi tabi'it tabiin, yaitu:


  1. Generasi sejaman dengan Rasulullah saw: sahabat ra (generasi ayah).
  2. Generasi sesudah mereka: tabi'in (generasi anak).
  3. Generasi yang sesudah mereka : tabi'it tabi'in (generasi cucu), sampai abad ke-3 H.

Inilah tiga generasi pertama umat Islam, generasi yang terpercaya dalam menyampaikan agama Allah SWT. Kepada merekalah kita merujuk segala pemahaman agama Islam ini yang benar dan lurus, melalui merekalah kita mengambil ilmu syariat agama ini yang telah Rasulullah saw ajarkan dan mereka ini adalah generasi yang menumbuhkan sunnah-sunnah Rasulullah saw.

Banyak sekali sumber-sumber rujukan ilmu agama yang telah diwariskan oleh generasi kaum salaf. Dan juga generasi sesudahnya yang mengikuti jejaknya yang lurus dan dapat dipercaya.

Akan tetapi di antara pemahaman yang lurus itu telah muncul pula pemahaman yang menyimpang yang menyebabkan umat Islam ini berpecah-pecah atau bergolong-golongan. Masing-masing dari golongan yang telah menyimpang itu juga mengklaim bahwa golongan sendirilah yang pemahamannya benar sedangkan yang lain salah. Maka benarlah apa yang telah disabdakan oleh Rasulullah saw,

"Umatku akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan." Ditanyakan kepada beliau: "Siapakah mereka, wahai Rasul Allah?" Beliau menjawab: "Orang-orang yang mengikutiku dan para sahabatku." (HR Abu Dawud, Tirmizi, Ibnu Majah, Ahmad, Darami, dan -Hakim).

Dengan memahami persoalan tersebut di atas, maka kita sadar bahwa setiap Muslim perlu mencari dan mendapatkan pemahaman agama yang banar dan lurus yang tidak dibelokkan oleh kaum yang bodoh dan menuruti hawa nafsunya serta kepentingan kelompoknya. Hanya atas petunjuk dan pertolongan Allah sajalah kita dapat mengikuti jejak Rasulullah saw di dalam beribadah kepada-Nya.

Maka dengan mengharap pertolongan, petunjuk, taufik dan hidayah-Nya di dalam rubrik "TAUHID" ini, www.alislam.or.id berusaha menyajikan kepada pemahaman yang lurus sesuai dengan pemahaman salafussalih dari umat ini.

I. MUKADIMAH TAUHID

A. Tauhid Merupakan Dakwah Semua Rasul

Bahwa semua rasul yang diutus kepada umat manusia mempunyai kesamaan tujuan adalah sebuah aksioma yang mesti diketahui setiap Muslim. Hal itu dijelaskan dengan rinci oleh Allah SWT dalam firmannya di beberapa tempat dalam Alquran.

Firman Allah tentang rasul pertama, Nuh as,
"Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu ia berkat: 'Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selan-Nya. Sesungguhnya kalau kamu tidak menyembah Allah aku takut kamu akan di timpa azab hari yang besar (kiamat)." (Al-A'raf: 59)

Firman Allah menjelaskan tentang perkataan Hud as kepada kaumnya,
"Dan Kami telah mengutus kepada 'Ad saudara mereka Hud, ia berkata: 'Hai kaumku sembahlah Allah sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepadanya." (Al-A'raf: 65)

Firman Allah tentang perkataan Saleh as kepada kaumnya,
"Dan Kami telah mengutus kepada kaum Tsamud saudara mereka, Saleh. Ia berkata: 'Hai kaumku sembahlah Allah sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selan-Nya." (Al-A'raf: 73)

Firman Allah tentang perkataan Su'aib kepada kaumnya,
"Dan Kami telah mengutus kepada penduduk Madyan saudara mereka, Su'aib. Ia berkata, 'Hai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya." (Al-A'raf: 85)

Penjelasan Allah tentang diutusnya setiap rasul
"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): 'Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu." (An-Nahl: 36)

Penjelasan Allah tentang rasul-rasul sebelum Muhammad
"Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu, melainkan kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang Haq) melainkan Aku, maka sembahlah oleh mu sekalian akan Aku." (Al-Anbiya: 25)

Penegasan Rasulullah saw tentang tauhid
"Saya diperintahkan untuk memerangi manusia, sehingga mereka bersaksi bahwa tiada Tuhan yang Haq disembah selain Allah SWT dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah." (HR Bukhrai, Muslim).

Dari uraian di atas maka kewajiban seorang Muslim yang pertama dan utama adalah menauhidkan Allah SWT dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad saw adalah utusannya, dengan menunaikan kewajiban-kewajiban yang dicakup oleh kalimat sahadatain itu.

B. Macam-Macam Tauhid

Tauhid terbagi menjadi tiga macam:


  • Tauhid Rububiyah
  • Tauhid Uluhiyah
  • Tauhid Asma dan Sifat

C. Urgensi Tauhid dan Korelasinya dalam Menghapus Dosa

Firman Allah:
"Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukan iman mereka dengan kezaliman (sirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk." (Al-Anfal: 82)

Abdullah ra ia berkata, "Ketika ayat ini turun kami berkata kepada Rasulullah saw, 'Wahai Rasulullah, siapakah di antara kami yang tidak menzalimi dirinya?' Beliau bersabda, 'Bukanlah maksudnya seperti yang kalian katakan (firman Allah: 'Yang tidak mencampuradukan iman mereka') maksudnya adalah syirik, tidakkah kalian mendengar perkataan Lukman kepada anaknya: 'Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar." (HR Bukhari, Muslim)

Dari Ubadah bin Shamit ra ia berkata Rasulullah saw bersabda, "Barang siapa bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah tiada sekutu baginya dan Muhammad adalah hamba dan Rasulnya, dan bahwa Isa as adalah hamba Allah dan Rasulnya, ia adalah kalimat-Nya yang dianugerahkan kepada Maryam sebagai ruh dari-Nya, dan bersaksi bahwa surga dan neraka adalah kebenaran yang haq, maka Allah akan memasukkannya kedalam surga dengan amalan apapun yang pernah ia kerjakan." (HR Bukhari, Muslim)

Hadits Itban ra meriwayatkan bahwa Allah mengharamkan neraka terhadap orang yang berkata, "Tiada Tuhan selain Allah dengan tujuan ikhlas karena Allah." (HR Bukari, Muslim)

Hadis-hadis di atas juga yang semisal dengannya menjelaskan keutamaan kalimat tauhid, tidaklah hanya sebatas ucapan yang dilafalkan mulut semata, namun ia memerlukan konsekwensi dari orang yang mengucapkannya. Karena tidaklah kaum Musrikin Quraisy dahulu tidak bisa melafalkannya tetapi mereka mengetahui konsekwensi jika mereka mengucapkan kalimat itu, tentunya hidahyah dan taufik Allah juga tidak masuk kepada mereka.

D. Tanya Jawab

a. Tanya: Apakah macam-macam tauhid dan jelaskan definisinya?

Jawab: Macam-macam tauhid ada tiga: Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Asma wa Sifat.

Tauhid Rububiyah adalah mengesakan Allah dalam hal mencipta, memberi rezeki, menghidupkan, mematikan dan yang semacamnya seperti mengelola apa yang ada di langit dan di bumi. Serta mengesakan Allah dalam menentukan hukum dan perundang-undangan dengan mengutus Rasul dan menurunkan kitab.

Firman Allah:
"Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa lalu Dia bersemayam di atas Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan diciptakannya pula matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah menciptakan dan memerintah hanyalah Allah. Maha Suci Allah Tuhan semesta alam." (Al-A'raf: 54)

Tauhid Uluhiyah ialah mengesakan Allah dalam beribadah hanya kepadanya, tidak menyembah selai-Nya, tidak berdo'a kecuali kepadanya, tidak memohon pertolongan kecuali kepadanya, tidak bernadzar atau menyembelih binatang kecuali bagi-Nya.

Firman Allah:
"Katakanlah: 'Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, tuhan sekalian alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri kepada Allah." (Al-An'am: 162-163)

Tauhid Asma wa Sifat adalah mensifatkan Allah dan menamakan-Nya sesuai dengan apa yang disifatkan dan dinamakan oleh Allah sendiri dan sesuai dengan apa yang disifatkan dan dinamakan oleh Rasulullah saw kepada-Nya, dalam hadis-hadis sahih dan menetapkan bagi-Nya tanpa menyerupakan, mempermisalkan dan tanpa mentakwilkannya.

Firman Allah:
"Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." ( Asy-Syuura: 11)

(bersambung).


Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Harta yang Diperoleh dalam Perjalanan Tahun

Jika seorang mukallaf (orang yang dibebani syariat) tidak memiliki harta kemudian dia memperoleh harta zakat yang tidak mencapai nishab, maka tidak wajib zakat padanya dan tidak dihitung haulnya. Jika telah mencapai nishab, perhitungan tahunnya dimulai sejak hari ia mencapai nishab, dan wajib atasnya mengeluarkan zakatnya jika harta itu tetap ada padanya sampai berlalunya masa setahun.

Jika dia memiliki harta senishab, kemudian sebelum berlalu setahun dia memperoleh harta sejenis dengan harta nishab itu atau dari jenis yang digabungkan padanya, dalam hal ini ada tiga pembagian.


  1. Tambahan itu merupakan hasil dari harta pertama, seperti laba perniagaan, hasil dari ternak yang digembalakan, maka ini dikeluarkan zakatnya bersama dengan aslinya ketika genap setahun. Ibnu Quddama berkata, "Kami tidak mengetahui adanya perselisihan dalam hal itu, karena tambahan itu mengikuti jenis aslinya, jadi sama dengan harta yang tumbuh berkesinambungan."
  2. Harta tambahan itu bukan dari jenis harta zakat yang ada padanya seperti jika ia memiliki onta kemudian dia memperoleh emas atau perak. Maka harta tambahan ini tidak dikeluarkan zakatnya ketika harta aslinya mencapai haul. Tetapi, haulnya mulai dihitung sejak hari ia memperolehnya jika mencapai nishab. Ini disepakati, kecuali suatu pendapat ganjil yang mengatakan bahwa wajib menzakatinya ketika ia mendapatkannya. Tidak seorang pun ulama atau imam-imam fatwa yang condong pada pendapat ini.
  3. Ia memperoleh harta tambahan itu berupa jenis harta nishab yang ada padanya ketika telah sempurna haul yang pertama, tetapi tambahan itu bukan berasal dari harta pertama. Seperti, jika ia memiliki dua puluh misqal emas pada awal Muharam, lalu pada awal Zulhijah ia memperoleh emas seribu misqal. Ulama berselsih pendapat dalam hal ini.

Kalangan Asy-Syafi'iyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa itu digabungkan secara nishab tidak secara haul. Jadi, ia mengeluarkan zakat harta yang pertama ketika sampai haulnya pada awal Muharam berikutnya, dan mengeluarkan zakat yang kedua ketika sampai haulnya pada awal Zulhijah berikutnya walaupun kurang dari nishab, karena harta kedua mencapai nishab dengan digabung dengan harta pertama. Mereka berdalil dengan keumuman sabda Rasulullah saw. yang artinya, "Tidak wajib zakat pada suatu harta hingga berlalu atasnya satu haul." Dan, sabda beliau, "Barangsiapa memperoleh suatu harta, maka tidak wajib padanya zakat hingga berada pada pemiliknya selama setahun."

Golongan Hanafiyyah berpendapat bahwa setiap harta yang diperoleh dalam masa setahun itu digabungkan pada nishab yang ada padanya dan dizakatkan semuanya ketika sampai haul harta yang pertama. Mereka mengatakan bahwa karena ia digabungkan dengan jenisnya dalam nishab, wajib digabungkan juga dalam haul sebagaimana nishab, dan karena nishab adalah sebab dan haul adalah syarat, jadi jika digabungkan nishabnya yang merupakan sebab, penggabungannya pada haul lebih utama. Dan, karena memisahkan masing-masing menyebabkan pemisahan kewajiban dalam binatang ternak yang digembalakan serta perbedaan waktu kewajiban, dan membutuhkan penentuan waktu memiliki yang tepat serta wajib menghitung kadar yang sedikit yang tidak mungkin dikeluarkan, ini merupakan suatu hal yang sulit dan membebani, padahal haul itu disyariatkan untuk memudahkan, Allah Taala telah berfirman yang artinya, 'Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama ini suatu kesempitan." (Al-Hajj: 78). Dan, berdasarkan kiyas pada hasil ternak dan laba perniagaan.

Abu Hanifah mengecualikan tambahan yang merupakan harga dari suatu harta yang telah dizakatkan, maka tidak digabungkan agar tidak terjadi pengulangan.

Kalangan Malikiyyah dalam hal ini harus ada pemisahan antara binatang ternak dengan emas dan perak atau uang. Pendapat mereka tentang binatang ternak sama dengan pendapat Abu Hanifah, karena zakatnya diwakilkan pada petugas pemungut zakat. Kalau tidak digabungkan, hal itu akan menyebabkan pengeluaran zakatnya lebih dari sekali. Berbeda dengan harga (uang atau emas dsj.) karena zakatnya disandarkan pada pemiliknya.

Sumber: Al-Mawsu'ah al-Fiqhiyyah, Kementerian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait

Zakat Upah/Gaji yang Diterima di Muka

Mazhab Hanabilah dalam hal ini, dan dinukil oleh Al-Kasani dari Muhammad bin Al-Fadhal al-Bukhari, serta merupakan satu pendapat dari kalangan Asy-Syafiiyyah, "Sesungguhnya upah untuk beberapa tahun yang dibayar di muka, jika berlalu masa satu tahun (Hijriah), maka wajib dikeluarkan zakatnya dari keseluruhannya, karena dia telah memilikinya dengan penuh sejak transaksi berlaku. Dengan dalil bahwa ia boleh memperlakukan harta itu, walaupun barangkali akan terjadi utang atasnya dengan terjadinya pembatalan, misalnya."

Adapun menurut kalangan Malikiyyah menyebutkan bahwa tidak wajib zakat pada upah yang diterima di muka atas orang yang diupah, kecuali dia telah memilikinya secara penuh. Maka, jika dia mengupahkan dirinya untuk tiga tahun dengan bayaran enam puluh dinar, untuk setiap tahunnya dua puluh dinar. Dan, ia tidak memiliki apa-apa selain upah itu. Jika telah berlalu atasnya masa setahun, tidak wajib zakat atasnya. Karena, dua puluh dinar yang merupakan upah tahun pertama belum nyata menjadi miliknya, kecuali dengan habisnya masa satu tahun itu. Karena, upah itu selama masa setahun merupakan titipan padanya. Berarti ia belum memilikinya setahun penuh. Dan, jika telah berlalu tahun kedua, ia wajib menzakati yang dua puluh dinar itu, dan jika berlalu tahun ketiga, ia wajib menzakati yang empat puluh, kecuali yang telah berkurang karena zakat, dan jika telah berlalu tahun keempat, ia wajib menzakati semuanya.

Dalam suatu pendapat dari kalangan Malikiyyah dan suatu pendapat yang paling nyata dari kalangan Syafiiyyah menyebutkan bahwa tidak wajib zakat kecuali dari apa yang telah tetap menjadi miliknya, karena sesuatu yang belum tetap masih bisa gugur. Jadi, wajib menzakati dua puluh dinar pertama dengan berlalunya masa tahun pertama. Karena, sesuatu yang gaib (apakah ia memilikinya atau tidak) telah diketahui dengan telah memilikinya dari awal tahun. Maka, jika telah sempurna akhir tahun kedua, ia wajib mengeluarkan zakat dari dua puluh dinar untuk setahun, yaitu yang dizakatinya pada akhir tahun pertama. Serta zakat dua puluh untuk dua tahun, yaitu yang telah tetap menjadi miliknya sekarang. Demikianlah, dan kami tidak mendapatkan suatu tanggapan dari kalangan Hanafiyyah dalam masalah ini.

Zakat Harga yang Diterima di Muka dari Barang yang Belum Diserahkan

Jika seseorang membeli sesuatu dengan dirham yang mencapai nishab, atau ia mengadakan akad salam dengan harga sejumlah nishab, kemudian berlalu masa setahun sedangkan pembelinya belum menerima barangnya, dan transaksi masih berlaku tidak dibatalkan, maka kalangan Hanabilah berpendapat bahwa zakatnya wajib atas si penjual karena telah menjadi milik tetapnya. Kemudian, jika transaksi dibatalkan karena rusaknya barang, atau barangnya tidak bisa diserahkan, wajib mengembalikan seluruh harga itu secara utuh.

Kalangan Syafiiyyah secara nyata menyatakan pendapat yang berdekatan dengan itu, yaitu bahwa barang yang dibeli jika telah berlalu atasnya masa setahun sejak berlakunya transaksi, maka wajib atas pembeli menzakatinya walaupun ia belum menerimanya.

Sumber: Al-Mawsu'ah al-Fiqhiyyah, Kementerian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Zakat Utang (II)

Pembahasan zakat utang pada kajian ini adalah khusus tentang zakat utang yang ditunda.

Utang yang Ditunda

Golongan Hanabilah dan pendapat terkemuka dari kalangan Asy-Syafi'iyyah mengatakan bahwa utang yang ditunda sama dengan utang atas orang yang kesulitan, karena orang yang memilikinya tidak dapat menerimanya pada saat jatuh temponya, maka wajib mengeluarkannya ketika ia telah menerimanya sesuai bilangan tahun yang berlalu.

Adapun pendapat yang berseberangan dengan pendapat terkemuka dari Asy-Syafi'iyyah adalah bahwa wajib mengeluarkan zakatnya ketika berlalu masa setahun walaupun ia belum menerimanya. Dan, kami tidak mendapatkan dari kalangan Hanafiyyah dan Malikiyyah pembagian utang kepada utang jatuh tempo dan utang yang ditunda.

Pembagian Utang menurut Hanafiyyah

Menurut dua sahabat Abu Hanifah (Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan) utang-utang itu semuanya satu macam saja. Maka, setiap kali ia menerima sebagian dari utang itu, wajib mengeluarkan zakatnya jika sampai nishab, atau sampai nishab jika menggabungkannya dengan harta lain miliknya.

Abu Hanifah berpendapat bahwa utang itu terbagi tiga: pertama utang yang kuat, yaitu yang merupakan ganti dari harta zakat, seperti utang uang, harga harta gembalaan, dan barang dagangan. Maka, semua ini jika ia menerima sebagian dari utang itu walaupun sedikit, ia wajib menzakatkannya. Dengan catatan bahwa mazhabnya dalam awqash dari emas dan perak, maka menurutnya tidak wajib zakat pada sebagian yang diterimanya dari utang dirham, misalnya, kecuali mencapai empat puluh (40) dirham, maka zakatnya satu dirham, dan haulnya adalah haul asalnya. Karena asalnya ia merupakan harta zakat, maka wajib ditegakkan berdasarkan haul asalnya, ini merupakan riwayat yang satu.

Kedua utang yang lemah, yaitu yang bukan merupakan harga barang dagangan, bukan juga ganti dari suatu utang uang, seperti mahar, diyat, dan tebusan kitabah dan khulu'. Maka, jika ia telah menerima sebagiannya dan hartanya yang lain telah sampai nishab dan berlalu haulnya, ia wajib menzakatkannya bersamaan seperti harta yang dikembangkan. Tetapi, jika hartanya yang lain belum mencapai nishab, tidak wajib zakat. Kecuali jika utang yang diterimanya itu mencapai nishab dan berlalu haulnya dihitung sejak ia menerimanya; karena harta itu menjadi harta zakat begitu ia menerimanya.

Ketiga utang pertengahan, yaitu berupa harga barang yang dipakai yang tidak wajib zakat, seperti harga rumahnya dan harga barang-barang yang merupakan kebutuhan asasinya. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa harta itu dianggap harta zakat sejak ia menjualnya, maka wajib zakat sesuai waktu yang berlalu, tetapi tidak wajib mengeluarkan kecuali setelah jumlah yang diterimanya mencapai nishab. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa perhitungan haulnya tidak dimulai kecuali ketika ia telah menerima sejumlah nishab, karena dengan demikian yang diterimanya itu menjadi harta zakat, mirip harta zakat yang baru dimilikinya.

Sumber: Al-Mawsu'ah al-Fiqhiyyah, Kementerian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Zakat Utang (I)

Utang adalah milik dari orang yang memberikan utang. Tetapi, dia tidak berada di tangan pemiliknya. Dalam hal ini telah terjadi perbedaan pendapat di antara ulama.

Ibnu Umar dan Aisyah serta Ikrimah, budak Ibnu Abbas r.a., berpendapat bahwa tidak ada zakat pada utang, alasannya karena ia harta yang tidak berkembang, hingga tidak wajib zakat seperti barang qinyah (yaitu barang yang dibeli untuk keperluan pribadi).

Adapun jumhur ulama (mayoritas ulama) berpendapat bahwa utang yang jatuh tempo itu ada dua: utang jatuh tempo yang diharapkan akan dibayar dan utang jatuh tempo yang tidak diharapkan lagi akan dibayar. Utang jatuh tempo yang diharapkan akan dibayar adalah yang berada di tangan orang yang mengakuinya dan berusaha untuk membayarnya.

Dalam hal ini ada beberapa pendapat: pendapat golongan Hanafiyyah, Hanabilah, dan Ats-Tsauri adalah bahwa wajib atas pemiliknya mengeluarkan zakatnya setiap tahun karena itu adalah harta miliknya, hanya saja tidak wajib atasnya mengeluarkan zakatnya selama ia belum memegangnya. Jika ia telah memegangnya, wajib atasnya mengeluarkan zakatnya sesuai jumlah tahun yang telah lewat. Maksud pendapat ini adalah bahwa harta itu adalah kewajiban yang tetap dalam tanggungannya, maka tidak wajib mengeluarkannya hingga ia memegangnya. Dan, karena ia tidak menggunakannya pada saat itu, lagi pula tidaklah adil jika ia harus mengeluarkan zakat dari harta yang tidak dimanfaatkannya. Harta titipan yang bisa diambil pemiliknya kapan saja bukan termasuk jenis ini, tetapi wajib mengeluarkan zakatnya ketika telah berlalu satu tahun.

Asy-Syafii dalam pendapatnya yang terkemuka, Hammad bin Abu Sulaiman, Ishaq, dan Abu 'Ubaid berpendapat bahwa wajib mengeluarkan zakat utang jatuh tempo yang diharapkan akan dibayar pada setiap akhir masa setahun, seperti harta yang di tangannya, karena dia mampu mengambilnya dan menggunakannya.

Lain halnya dengan Malikiyyah, beliau menjadikan utang itu beberapa macam, yaitu sebagian utang wajib dikeluarkan zakatnya setiap tahun, yaitu hutang pedagang yang mengedarkan barangnya dari harga barang dagangan yang diperdagangkannya. Sebagian lagi wajib dikeluarkan zakatnya hanya untuk satu tahun ketika ia menerimanya walaupun utang itu berada di tangan orang yang berutang bertahun-tahun, seperti utang untuk orang lain yang berupa uang, demikian juga harga barang yang dijual oleh orang yang menyimpannya. Dan sebagian utang tidak ada zakatnya, seperti hibah, mahar, atau ganti rugi suatu jinayah.

Adapun utang jatuh tempo yang tidak diharapkan akan dibayar adalah utang orang yang kesulitan, orang yang mengingkarinya, dan orang yang menunda-nundanya. Dalam hal ini ada beberapa pendapat.

Pendapat Hanafiyyah dalam hal ini sama dengan yang telah lalu. Dan, ini adalah pendapat Qatadah, Ishaq, Abu Tsaur dan sebuah riwayat dari Ahmad. Ini adalah pendapat yang berlawanan dengan pendapat terkemuka Asy-Syafii bahwa tidak ada zakat padanya karena tidak sempurnanya kepemilikan, karena ia tidak bisa dimanfaatkan.

Pendapat kedua adalah pendapat Ats-Tsauri, Abu Ubaid, Dan sebuah riwayat dari Ahmad, dan pendapat terkemuka dari Asy-Syafii. Yaitu, bahwa ia wajib mengeluarkan zakatnya ketika ia telah menerimanya sesuai bilangan tahun yang telah lewat. Hal ini berdasarkan yang diriwayatkan dari Ali bin Abu Thalib r.a. tentang utang yang diduga, "Jika ia benar maka hendaklah ia mengeluarkan zakatnya jika ia telah menerimanya sesuai tahun yang telah berlalu."

Malik berpendapat bahwa jika utang itu termasuk yang wajib zakat, ia wajib mengeluarkan zakat setahun pada saat ia menerimanya, walaupun berada di tangan orang yang berutang selama beberapa tahun. Ini adalah pendapat Umar bin Abdul Aziz, Al-Hasan, Al-Laits dan Al-Auza'i.

Golongan Syafi'iyyah dan Hanabilah mengecualikan binatang ternak dari utang, jadi tidak ada zakat padanya. Karena, syarat zakat pada binatang ternak menurut mereka adalah as-saum (yaitu diberi makan tanpa biaya dengan digembalakan di padang rumput dan sejenisnya). Sedangkan yang berada dalam tanggungan tidak disifati dengan saum.

Sumber: Al-Mawsu'ah al-Fiqhiyyah, Kementerian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Zakat Harta Tawanan, Tahanan, dan Sejenisnya

Barangsiapa yang ditawan atau dipenjara, dia terhalang dari menggunakan dan mengambil manfaat dari harta, maka Ibnu Qudamah menyebutkan bahwa hal itu tidak menghalangi kewajiban berzakat atasnya. Karena, dia menggunakan hartanya untuk jual beli, hibah, dan semisalnya, maka tindakannya itu berlaku. Demikian juga jika dia mewakilkan seseorang pada hartanya, maka perwakilan itu berlaku.

Malikiyyah menyebutkan bahwa sesungguhnya kondisi seseorang yang hilang atau ditawan menyebabkan kewajiban zakat gugur dari hartanya yang terpendam. Karena, dia dalam kondisi seperti itu tidak berdaya mengembangkan hartanya, jadi hartanya saat itu sama seperti harta yang hilang. Karena itulah, jika ia dibebaskan setelah satu tahun, ia harus mengeluarkan zakatnya, seperti harta yang hilang.

Al-Ajhuri dan Az-Zarqani berpendapat: tidak wajib zakat dari hartanya sama sekali.

Al-Banani berpendapat: tidaklah gugur kewajiban zakat dari harta tawanan dan orang hilang, bahkan wajib zakat atas keduanya setiap tahun, tetapi tidak wajib dikeluarkan zakatnya dari harta keduanya, tetapi ditahan dulu, karena dikhawatirkan terjadinya kematian.

Untuk harta yang nampak, pendapat Malikiyyah di sini sepakat mengatakan bahwa kondisi hilang atau jadi tawanan tidak menggugurkan kewajiban zakat dari keduanya, karena keduanya dianggap masih hidup.

Boleh mengambil zakat dari harta mereka yang nampak dan hal itu telah memadai, dan tidaklah ketiadaan niat membatalkannya. Karena, niat orang yang menggantikannya mengeluarkan zakat menggantikan niatnya.

Dan, tidak terdapat sanggahan dari ulama selain yang telah disebutkan dalam masalah ini.

Sumber: Al-Mawsu'ah al-Fiqhiyyah, Kementerian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Zakat Perniagaan

Wajib mengeluarkan zakat barang perniagaan berdasarkan firman Allah yang artinya, "Nafkahkanlah dari yang baik yang kalian usahakan." (Al-Baqarah: 267).

Dan, hadis yang dirawayatkan oleh Imam Ad-Daruquthni dari Abu Dzar r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda yang artinya, "Pada onta ada zakatnya, dan pada sapi ada zakatnya, dan pada kambing ada zakatnya, serta pada bazz (sejenis kain dari kapas yang diperdagangkan ketika itu) ada zakatnya." (HR Ad-Daruquthni 2/102 No. 28 Kitab Zakat).

Dan, hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Samurah bin Jundub r.a. ia berkata, "Sesungguhnya Rasulullah saw. memrintahkan kepada kami untuk mengeluarkan zakat dari barang yang kami siapkan untuk perdagangan." (Sunan Abu Daud No. 1335).

Perniagaan itu menumbuhkembangkan harta sehingga wajib dizakati ketika telah sampai nishab dan berlalu satu tahun (Hijriah). Inilah pendapat kebanyakan ulama. Ibnul Mundzir berkata bahwa para ulama sepakat (ijma') bahwa barang yang akan diperniagakan wajib dizakati jika telah berlalu masa setahun. Ini adalah pendapat Umar, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, ahli fikih yang tujuh, Hasan al-Bashri, Jabir bin Zaid, Maimun bin Mahran, Thawus, An-Nakha'i, Ats-Tsauri, Al-Auza'i, Asy-Syafi'i, dan Abu 'Ubaid, Ishak bin Rahawaih, serta ashabur ra'yi. Dan, diriwayatkan dari Malik dan Daud azh-Zhahiri bahwa tidak wajib zakat padanya, namun pendapat ini tertolak berdasarkan hadis di atas.

Kapan Suatu Barang Bisa Dikatakan sebagai Barang Perdagangan?

Tidaklah suatu barang dianggap sebagai barang dagangan, kecuali dengan dua syarat:


  1. dimiliki melalui transaksi yang ada imbal baliknya, seperti jual beli, sewa, nikah atau khulu', dan transaksi halal lainnya,
  2. diniatkan ketika ia memiliki barang itu untuk diperdagangkan.


Selanjutnya, harus ada perdagangan yang dilakukan agar barang itu tidak sekadar diniatkan untuk diperdagangkan tanpa ada tindak lanjutnya. Karena, orang yang berniat berjalan, namun belum berjalan belum bisa dikatakan telah berjalan.

Cara Mengeluarkan Zakat

Jika seseorang memiliki barang dagangan yang telah mencapai atau melebihi nishab dan telah berlalu satu tahun, ia wajib mengeluarkan zakatnya sebesar 2,5 % dari total harga barang itu dan bukan barangnya. Karena, nishabnya diukur dari harganya, maka zakatnya juga dari harganya, di samping itu sangat sulit mengukur 2,5 % dari barang langsung. Imam Abu Hanifah membolehkan zakat dari barangnya atau dari harganya. Wallahu a'lam. (Ibnu).

Referensi:
1. Al-Majmu' Syarhul Muhazzab, Imam An-Nawawi
2. Al-Mughni, Ibnu Qudamah
3. Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq
4. Sunan Abu Daud
5. Sunan ad-Daruquthni
6. Tuhfatul Muhtaj, Al-Wadiyasyi
7. 'Aunul Ma'bud, Ibnul Qayyim

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Zakat Perhiasan

Dalam perhiasan, masalah zakat ada yang disepakati dan ada yang diperselisihkan. Yang disepakati adalah bahwa tidak wajib zakat pada perhiasan yang berupa intan, berlian, mutiara, yaqut, dan batu-batu permata lainnya. Adapun yang mereka perselisihkan adalah perihal wajib tidaknya zakat perhiasan dari emas dan perak.

Perbedaan pendapat ini terbagi kepada dua. Pertama, pendapat yang memandang wajibnya zakat perhiasan dari emas dan perak. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah r.h., Ibnu Hazm, dan lain-lain yang sependapat dengan mereka. Dalil yang mereka gunakan adalah sebagai berikut.


  1. Keumuman firman Allah dalam surah At-Taubah ayat 34 yang artinya, "Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih."
  2. Keumuman sabda Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam, yang artinya, "Dalam perak ada zakat sebanyak seperempat dari sepersepuluhnya (seperempat puluh)." (HR Bukhari).
  3. Sabda Nabi saw. yang artinya, "Tiada pemilik emas dan perak yang tidak menunaikan kewajiban zakatnya melainkan pada hari kiamat nanti akan disetrikakan padanya lempeng-lempeng dari api neraka." (HR Bukhari, Muslim, dan lain-lain).
  4. Dari A'isyah Radhiyallahu 'anha, ia berkata, suatu ketika Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam datang kepadaku dan melihat di tanganku ada cincin-cincin perak, lalu beliau bertanya kepadaku: "Apa ini hai A'isyah?" saya jawab, "Saya membuatnya agar aku berhias dengannya untukmu, wahai Rasulullah." Beliau bertanya: "Apakah engkau keluarkan zakatnya?" aku jawab, "Tidak." "Maa syaa Allah!" beliau berkata: "Itu sudah cukup memasukkanmu ke neraka." (HR Abu Daud, Daruquthni, dan Baihaqi, disahihkan oleh Albani).
  5. Dari segi 'aqli, mereka memandang bahwa perhiasan emas dan perak sama dengan dinar dan dirham yang diwajibkan zakatnya.

Kedua, pendapat para imam yang tiga (Malik, Syafi'i, dan Ahmad) serta yang sepakat dengan mereka, bahwa tidak wajib zakat pada perhiasan. Dalil mereka adalah sebagai berikut.


  1. Riwayat Jabir Radhiyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda yang artinya, "Tidaklah wajib zakat pada perhiasan." Imam Baihaqi berkata, "Ini sebenarnya diriwayatkan dari ucapan Jabir." (Nashbur Rayah 2/374).
  2. Bara'ah Ashliyyah, yaitu bahwa segala sesuatu tidak ada kewajiban sampai adanya nash atau perintah dari syara yang sahih.
  3. Sesungguhnya zakat itu diwajibkan pada harta yang hidup dan menghidupkan, sedangkan perhiasan tidaklah demikian, ia dipakai untuk dinikmati.
  4. Banyak atsar dari para sahabat yang menyebutkan tidak adanya zakat perhiasan, di antaranya dari Qasim bin Muhammad bahwa Aisyah Radhiyallaahu 'anha, istri Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam, menjadi wali atas putri-putri saudaranya yang sudah yatim dalam asuhannya, mereka memiliki perhiasan dan ia tidak mengeluarkan zakatnya. (Muwaththa' Imam Malik 1/201, No. 586). Dan, masih banyak lagi atsar yang menyatakan tidak adanya zakat pada perhiasan.

Yusuf al-Qaradhawi menguatkan pendapat yang tidak mewajibkan zakat pada perhiasan, sebagaimana tidak wajibnya zakat pada ternak yang digunakan untuk bekerja. Lebih detailnya silahkan merujuk pada bukunya: Fikih Zakat.

Namun, berkaitan dengan atsar di atas, Imam Malik Rahimahullah mengatakan, "Barangsiapa yang memiliki emas atau perhiasan emas dan perak yang tidak dipakai maka setiap berlalu satu tahun (tahun hijriyyah), ia wajib mengeluarkan zakatnya seperempat puluhnya, kecuali jika tidak sampai dua puluh dinar atau dua ratus dirham (nishab). Sayyid Sabiq mengutip perkataan Al-Khaththabi, "... dan langkah yang lebih aman adalah mengeluarkan zakatnya."

Perlu diperhatikan di sini bahwa perbedaan pendapat ini adalah pada perhiasan yang halal dipakai dan tidak melewati batas kewajaran. Adapun perhiasan yang disimpan dan tidak dipergunakan, seperti perhiasan-perhiasan yang dijadikan koleksi dan pajangan, maka wajib mengeluarkan zakatnya. Wallahu a'lam. (Ibnu).

Referensi:
1. Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusyd
2. Al-Muwaththa', Imam Malik
3. Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq
4. Tamamul Minnah, Muhammad Nashiiruddin al-Albani
5. Fikih Zakat, Yusuf al-Qaradhawi

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Nisab Emas dan Jumlah yang Wajib Dikeluarkan

Nishab emas adalah sebesar 20 dinar emas. Satu dinar berat adalah 4,25 gram emas. Jadi, nishabnya adalah seberat 85 gram emas.

Dalilnya adalah riwayat dari Ali bin Abi Thalib r.a. bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda yang artinya, "Tidak wajib atasmu apa pun, yakni dalam emas, sampai kamu mempunyai dua puluh dinar. Jika kamu sudah memiliki dua puluh dinar dan telah berlalu masa satu tahun, maka zakatnya adalah setengah dinar. Dan jika lebih dari itu, maka cara menghitungnya sama demikian. Dan tidaklah wajib zakat pada suatu harta sampai berlalu masa satu tahun." (HR Ahmad, Abu Daud, Baihaqi dan disahihkan oleh Bukhari). Jadi, yang wajib dikeluarkan seperempat puluh dari jumlah emas yang telah mencapai atau melebihi nisabnya.

Nisab Perak dan Jumlah yang Wajib Dikeluarkan

Adapun perak, maka nisabnya adalah sebesar 200 dirham. Satu dirhamnya beratnya adalah 2,5 gram perak. Jadi, nisabnya adalah seberat 500 gram perak. Dalilnya adalah riwayat dari Ali bin Abi Thalib r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, "... Maka keluarkanlah zakat perak, yaitu dari setiap empat puluh dirham sebesar satu dirham, tetapi tidak wajib kalau jumlahnya baru seratus sembilan puluh sembilan dirham. Jika telah cukup dua ratus dirham, barulah kamu harus keluarkan zakatnya sebanyak lima dirham." (HR Ashabus Sunan). Jadi, yang wajib dikeluarkan adalah seperempat puluh dari jumlah emas yang telah mencapai atau melebihi nisab.

Apakah Boleh Menggabungkan Emas dan Perak yang Tidak Mencapai Nisab Agar Mencapai Nisab?

Adalah tidak boleh menggabungkan emas dengan perak agar mencapai nisab berdasarkan sabda Nabi saw., "Tidak ada zakat pada perak yang kurang dari lima uqiyah (200 dirham)." Hadis ini yang dijadikan landasan oleh Ibnu Hazm dalam melarang penggabungan emas dan perak, sebagaimana dikutip oleh Syekh al-AlBani dalam Tamamul Minnah. Mengenai ini, Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnahnya berkata, "Barangsiapa yang memiliki emas kurang dari nisab, dan perak juga kurang dari nisab, ia tidak perlu menggabungkan yang satu dengan yang lain agar sampai nisab. Karena, barangnya berbeda hingga tak mungkin digabungkan, seperti halnya sapi dengan kambing. Jadi, umpama ada seseorang yang memiliki 199 dirham dan 19 dinar, maka ia tidak wajib berzakat. (Ibnu).

Referensi:
1. Fikih Sunnah, Sayyid Sabiq
2. Tamamul Minnah, Muhammad Nashiruddin al-Albani

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Kekayaan yang Wajib Dizakati

Jenis-jenis kekayaan yang disebutkan dan diperingatkan Alquran untuk dikeluarkan zakatnya adalah sebagai berikut.


  1. Emas dan Perak

    Allah SWT berfirman, "Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, berilah kabar gembira dengan mendapatkan siksa yang pedih. Yakni, pada hari emas dan perak itu dipanaskan di neraka Jahannam kemudian diseterikakan ke kening, pinggang dan punggung mereka. 'Inilah harta yang kamu simpan-simpan buat dirimu.' Nah, rasakanlah hasil simpananmu itu." (At-Taubah: 34--35).

  2. Tanaman dan Buah-buahan

    Allah SWT tegaskan dalam Alquran, "... Makanlah sebagian buahnya bila berbuah dan bayarlah hak tanaman itu waktu menanamnya...." (Al-An'aam: 141).

  3. Usaha, seperti Usaha Dagang, dan Lain-Lain

    Allah berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman, keluarkanlah sebagian yang baik dari penghasilanmu...." (Al-Baqarah: 267).

  4. Barang-Barang Tambang yang Dikelurkan dari Perut Bumi

    Allah berfirman, "...dan sebagian di antara yang Kami keluarkan dari perut bumi...." (Al-Baqarah: 267).

    Selain dari yang disebutkan itu, Alquran hanya merumuskan apa yang wajib dizakati itu dengan rumusan yang sangat umum, yaitu dengan kata-kata "kekayaan", seperti firman-Nya: "Ambillah olehmu zakat dari kekayaan mereka, engkau bersihkan dan engkau sucikan mereka dengannya." (At-Taubah: 103). Dan firman Allah SWT, "Di dalam kekayaan mereka terdapat hak peminta-peminta dan orang yang melarat." (Adz-Dzariyat: 19).

Apa sebenarnya yang dimaksudkan Alquran dan hadis dengan kekayaan itu? Kekayaan itu merupakan terjemahan dari bahasa Arab amwaal. Ia merupakan bentuk jamak dari kata maal. Menurut orang Arab yang dengan bahasanya Alquran itu diturunkan, kekayaan adalah segala sesuatu yang diinginkan manusia untuk disimpan dan dimilikinya. Dengan demikian, unta, sapi, kambing, tanah, kelapa, emas, dan perak adalah kekayaan. Oleh karena itu, ensiklopedi-ensiklopedi di Arab, mislanya al-Qamus al-Muhith dan Lisanul Arab, mengatakan bahwa kekayaan adalah segala sesuatu yang dimiliki. Namun, orang-orang desa sering menghubungkannya dengan ternak, dan orang-orang kota sering menghubungkannya dengan emas dan perak (uang). Akan tetapi, semuanya adalah kekayaan. Adapun menurut ulama fikih, mereka berselisih mengenai arti dari kekayaan itu. Namun demikian, dari perbedaan pendapat itu yang kita pegang dalam masalah wajib zakat ini adalah sesuatu yang berwujud, dan itulah yang terkena kewajiban zakat.

Syarat-Syarat Kekayaan yang Wajib Dizakati


  1. Milik Penuh

    Maksudnya adalah bahwa kekayaan itu harus berada di bawah kontrol dan di dalam kekuasaannya, atau seperti yang dinyatakan oleh sebagian ahli fikih: bahwa kekayaan itu harus berada di tangannya, tidak tersangkut di dalamnya hak orang lain, dapat ia pergunakan dan faedahnya dapat dia nikmati. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa seorang pedagang tidak wajib zakat apabila barang yang dibelinya belum sampai di tangannya atau barangnya sedang digadaikan kepada orang lain sampai barang itu kembali ke tangan pemiliknya.

    Mengenai kekayaan yang bersumber dari barang yang haram, para ulama berpendapat bahwa seandainya suatu kekayaan yang kotor itu sampai senishab, zakat tidaklah wajib atas kekayaan itu. Karena, kekayaan itu harus dibebaskan dari tugasnya dengan mengembalikannya kepada yang berhak atau kepada ahli warisnya bila diketahui, tetapi bila tidak diketahui, diberikan kepada fakir miskin. Dalam hal ini, seluruh kekayaan itu harus disedekahkan, tidak sebagiannya saja. Rasullullah saw. bersabda mengenai hal ini: "Allah tidak akan menerima sedekah dari kekayaan ghulul." Ghulul adalah kekayaan yang diperoleh secara tidak sah dari kekayaan umum, seperti rampasan perang (ghanimah), dan lain-lain. Para ulama juga berpendapat bahwa menyedekahkan sesuatu yang haram tidaklah diterima, karena yang disedekahkan itu bukanlah milik orang yang menyedekahkannya, dan orang itu tidak sah melakukan sesuatu atas barang tersebut.

  2. Berkembang

    Maksudnya adalah kekayaan itu dikembangkan dengan sengaja atau mempunyai potensi untuk berkembang. Pengertian berkembang menurut bahasa sekarang adalah bahwa sifat kekayaan itu harus memberikan keuntungan ataupun pemasukan, sesuai dengan istilah-istilah yang dipergunakan oleh ahli-ahli perpajakan. Atau, kekayaan itu berkembang dengan sendiri, artinya bertambah dan menghasilkan produksi. Syarat kedua ini sengaja ditetapkan lantaran Nabi saw. tidak mewajibkan zakat atas kekayaan yang dimiliki untuk kepentingan pribadi, sebagaimana ditegaskan beliau dalam sabdanya:
    "Seorang muslim tidak wajib mengeluarkan zakat dari kuda atau budaknya." (HR Muslim).

  3. Sudah Sampai Satu Nisab

    Islam tidak mewajibkan zakat atas seberapa saja besar kekayaan yang berkembang sekalipun kecil sekali, tetapi memberikan ketentuan sendiri yaitu sejumlah tertentu yang dalam ilmu fikih disebut nishab, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadis-hadis Nabi saw. dalam masalah nishab harta yang wajib dizakati.

    Hikmah adanya penentuan syarat ini adalah bahwa zakat merupakan pajak yang dikenakan (Allah dan Rasul-Nya) atas orang kaya untuk bantuan kepada orang miskin dan untuk berpartisipasi bagi kesejahteraan Islam dan kaum muslimin. Oleh karena itu, zakat harus dipetik dari kekayaan yang mampu memikul kewajiban itu dan menjadi tidak ada artinya apabila orang miskin juga dikenakan pajak (zakat), sementara ia sangat memerlukan bantuan, bukan membantu. Sehingga, dari sini Nabi saw. bersabda, "Zakat hanya dibebankan ke atas pundak orang kaya." (HR Bukhari secara mua'llaq dan Ahmad secara maushul).

  4. Lebih dari Kebutuhan (Pokok)

    Hal inilah yang menandai bahwa seseorang bisa disebut kaya dan menikmati kehidupan yang tergolong mewah apabila ia mempunyai harta yang melebihi dari kebutuhan pokok/rutin. Yang dikatakan di sini hanyalah "lebih dari kebutuhan pokok/rutin". Sebab, kebutuhan-kebutuhan manusia sesungguhnya sangat banyak dan tidak terbatas, terutama pada masa kita sekarang yang menganggap barang-barang mewah sebagai kebutuhan dan setiap kebutuhan berarti primer. Oleh karena itu, setiap yang diinginkan oleh manusia tidaklah bisa disebut sebagai kebutuhan rutin/pokok. Umumnya, sekalipun sudah mempunyai dua gunung emas, manusia akan tetap mencari tambahan segunung lagi. Akan tetapi, yang dimaksud dengan kebutuhan rutin/pokok adalah sesuatu yang harus ada untuk ketahanan hidupnya, seperti makanan, pakaian, minuman, perumahan, dan alat-alat yang diperlukan untuk itu, seperti buku-buku ilmu pengetahuan dan keterampilan serta alat-alat kerja dan lain-lain.

  5. Bebas dari Hutang

    Pemilikan sempurna yang dijadikan persyaratan wajib zakat dan harus lebih dari kebutuhan primer di atas haruslah pula cukup senisab yang sudah bebas dari hutang. Bila pemilik mempunyai hutang yang menghabiskan atau mengurangi jumlah senisab itu, zakat tidaklah wajib.

    Jumhurul ulama berpendapat bahwa hutang merupakan penghalang wajib zakat, atau paling tidak mengurangi ketentuan wajibnya, dalam kasus kekayaan tersimpan seperti uang dan harta perniagaan. Demikian juga pendapat Atha', Sulaiman bin Yasar, Hasan, Nakha'i, Laits, Malik, Tsauri, Auza'i, Ahmad , Ishaq, Abu Tsaur, Abu Hanifah, dan kawan-kawannya. Hanya Rabi'ah, Hamad bin Sulaiman, dan Syafi'i dalam fatwa barunya menentangnya.

    Tetapi, mengenai kekayaan yang kelihatan, seperti ternak dan hasil pertanian, sebagian ahli fikih berpendapat bahwa hutang tidaklah menghalangi kekayaan yang wajib dizakati itu. Mereka membedakan kekayaan yang kelihatan dari kekayaan yang tidak kelihatan (tersimpan). Sebab, hubungan zakat lebih kuat kepada kekayaan yang kelihatan, karena lebih nyata dan lebih menggugah perasaan orang-orang miskin. Sebab itulah, datang ketentuan untuk mengirim petugas-petugas guna mengambil zakat kekayaan seperti itu dari pemiliknya, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dan para sahabat.

  6. Berlalu Setahun

    Maksudnya adalah bahwa pemilikan yang berada di tangan si pemilik sudah berlalu masanya sampai dua belas bulan Qamariyah. Persyaratan setahun ini hanya berlaku buat ternak, uang, dan harta perniagaan, yaitu kelompok harta yang dapat dimasukkan ke dalam istilah "zakat modal". Akan tetapi, hasil pertanian, buah-buahan, madu, logam mulia, harta karun, dan lain-lainnya yang sejenis tidaklah dipersyaratkan setahun, dan semuanya itu dapat dimasukkan ke dalam istilah "zakat pendapatan."

    Dari Ibnu Umar r.a., Nabi saw. bersabda, "Tidak ada zakat atas kekayaan sehingga berlalu satu tahun." (HR Daruquthny dan Baihaqi). (Biko).

Referensi:
1. Fiqhuz Zakah, Dr. Yusuf Qaradhawi
2. Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq

Al-Islam -Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Hal-Hal yang Berhubungan dengan Kewajiban Berzakat

Tulisan ini membahas hal-hal yang berhubungan dengan kewajiban membayar zakat.

Zakat Harta Anak Kecil dan Orang Gila

Diwajibkan atas wali dari anak kecil dan orang gila mengeluarkan zakat dari hartanya jika sudah cukup satu nishab. Diriwayatkan dari Amr bin Syu'aib dari bapaknya, dari kakeknya, yang diterima Abdullah bin Amr, bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Barangsiapa menjadi wali dari anak yatim yang mempunyai harta, hendaknya dia memperdagangkan hartanya untuk dia dan jangan membiarkannya sampai habis untuk membayar zakat."

Hadis ini sanadnya lemah, namun, menurut al-Hafidz Ibnu Hajar, ada sebuah hadis mursal sebagai syahid (pendukungnya). Hal ini dikuatkan oleh Imam Syafi'i dengan umumnya hadis-hadis yang sahih yang menjelaskan diwajibkannya zakat secara mutlak.

Aisyah r.a. mengeluarkan zakat harta anak-anak yatim yang berada dalam asuhannya. Tirmizi berkata, "Para ahli berbeda pendapat dalam soal ini. Tidak seorang pun dari kalangan sahabat yang berpendapat bahwa harta anak yatim itu wajib dizakati. Mereka itu di antaranya adalah Umar, Ali, Aisyah, dan Ibnu Umar. Demikian juga pendirian Malik, Syafi'i, Ahmad, dan Ishak. Akan tetapi, ada pihak lain yang mengatakan tidak wajib zakat pada harta anak yatim. Ini adalah pendapat Sufyan dan Ibnul Mubarak."

Orang yang Memiliki Nishab, tetapi Berhutang

Barangsiapa mempunyai harta dari jenis yang wajib dizakatkan, tetapi ia berhutang, hendaklah dia menyisihkan lebih dulu sebanyak utangnya, lalu mengeluarkan zakat dari sisanya jika sampai nishab. Jika tidak sampai, maka tidak wajib zakat. Karena, dalam hal ini ia adalah miskin. Rasulullah saw. bersabda, "Tidak wajib zakat kecuali dari pihak si kaya." (HR Ahmad, dan Bukhari menyebutkannya secara mu'allaq). Dan Rasulullah saw. bersabda pula, "Zakat itu dipungut dari orang-orang kaya di antara mereka, dan diserahkan kepada orang-orang miskin."

Dalam hal ini, hutang seseorang tidak ada bedanya, baik kepada Allah maupun kepada manusia. Dalam sebuah hadis disebutkan, "Hutang kepada Allah lebih berhak untuk dibayar."

Orang yang Mati dan Mempunyai Kewajiban Berzakat

Barangsiapa meninggal dunia dan masih mempunyai kewajiban berzakat, zakat itu wajib dikeluarkan dari hartanya, dan didahulukan dari membayar utang, memenuhi wasiat dan membagi warisan. Ini adalah mazhab Syafi'i, Ahmad, Ishaq, dan Abu Tsaur. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT mengenai pembagian pusaka, "Yakni, setelah memenuhi pesan yang diwasiatkan atau utang." (An-Nisaa': 12). Dan, zakat merupakan hutang yang nyata kepada Allah.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa seorang laki-laki datang menjumpai Rasulullah saw. dan bertanya, "Ibu saya meninggal dan berhutang puasa selama satu bulan, apakah saya boleh membayarkannya?" Nabi saw. menjawab, "Seandainya ibu Anda itu mempunyai hutang, apakah Anda akan membayarnya?" Jawab orang itu, "Ya." Nabi saw. menimpalinya, "Maka, hutang kepada Allah lebih berhak untuk dibayar?" (HR Bukhari dan Muslim)

Berniat Menunaikan Zakat

Zakat itu merupakan ibadah, maka agar ibadah itu sah, disyaratkan berniat. Caranya, ketika membayarkannya, orang yang berzakat itu hendaklah memfokuskan perhatiannya kepada keridaan Allah dan mengharapkan pahala dari-Nya. Sementara, dalam hati ditekankan bahwa itu merupakan zakat yang diwajibkan atas dirinya. Allah SWT berfirman, "Dan tidaklah mereka diperintah kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama kepada-Nya semata." (Al-Bayyinah: 5).

Nabi saw. bersabda, "Setiap perbuatan itu tergantung kepada niatnya, dan setiap orang akan mendapat apa yang diniatkannya."

Imam Malik dan Syafi'i menyaratkan, niat itu hendaklah ketika membayar. Adapun menurut Abu Hanifah, niat itu wajib ketika membayarkan zakat atau membebaskan diri dari kewajiban. Sementara, Ahmad membolehkan dimajukannya niat itu dari saat membayar, asal dalam waktu singkat.

Membayar pada Saat Wajibnya

Diwajibkan membayar zakat segera setelah datang saat wajibnya, dan menangguhkan dari saat tersebut, kecuali jika tidak mungkin, maka boleh mengundurkan pembayaran sampai ada kesempatan. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Bukhari dari 'Uqbah bin Harits seraya berkata, "Saya salat 'Ashar bersama Rasulullah saw., tatkala selesai memberi salam, Nabi saw. segera berdiri pergi menemui istri-istri beliau, lalu keluar kembali. Wajah orang-orang itu tampak keheranan melihat Nabi saw. lekas kembali, lalu Nabi saw. bersabda, 'Di waktu salat, saya teringat bahwa kami mempunyai emas, maka saya tidak ingin emas itu tersimpan pada kami sampai sore atau malam, maka saya suruh membagi-bagikannya'."

Menyegerakan Pembayarannya

Boleh menyegerakan zakat dan memajukan pembayarannya sebelum cukup masa setahun, bahkan walau sampai dua tahun di depan. Diriwayatkan bahwa menurut Zuhri tidak ada salahnya memajukan zakat sebelum datang haul. Hasan Bashri ketika ditanya mengenai seseorang yang mengeluarkan zakat tiga tahun di depan, apakah boleh, ia menjawab boleh.

As-Syaukani berkata, "Pendapat ini menjadi mazhab Syafi'i, Ahmad, dan Abu Hanifah. Juga pendirian Hadi dan Qasim. Sementara, Muayyid Billah mengatakan bahwa hal itu lebih utama. Akan tetapi, Malik, Rabi'ah, Sufyan Tsauri, Daud, Abu Ubaid, dan Harits, serta Ahlul Bait Nashir berpendapat bahwa tidak sah sebelum datang haul atau cukup setahun. Mereka mengambil alasan dengan hadis-hadis yang mengaitkan hukum wajib itu dengan haul, dan itu telah dijelaskan di depan. Menerima itu tidaklah menggoyahkan pendirian orang yang menyatakan sahnya menyegerakan. Karena, hukum wajib tergantunhg kepada datangnya haul, hingga tak perlu diperdebatkan. Yang menjadi perselisihan adalah soal sahnya memberi zakat sebelum datang waktunya."

Ibnu Rusyd berkata, "Sebab perbedaan itu adalah apakah zakat itu merupakan ibadah ataukah hak yang mesti dibayar bagi si miskin. Orang yang mengatakan bahwa ia adalah ibadah yang serupa dengan salat tidak membolehkan mengeluarkan zakat sebelum waktunya. Adapun orang yang menyamakan zakat dengan sebuah kewajiban yang ditetapkan waktunya membolehkan dikeluarkannya zakat itu sebelum waktunya, atas dasar kerelaan hati. Imam Syafi'i mengambil alasan untuk pendapatnya dengan hadis Ali r.a., bahwa Nabi saw. meminjam zakat dari Abbas sebelum datang waktunya."

Mendoakan Orang yang Memberi Zakat

Ketika menerima zakat dari seseorang, disunahkan mendoakan kepada orang tersebut. Allah SWT berfirman, "Ambillah zakat dari harta-harta mereka yang akan membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Karena doamu itu akan memberikan ketenangan kepada mereka." (At-Taubah: 103).

Dari Abdullah bin Abu Aufa r.a. berkata, Rasulullah saw. jika zakat diserahkan kepadanya, beliau berdoa, "Ya Allah, limpahkanlah karunia atas mereka." Demikian pula ketika bapakku menyerahkan zakat kepadanya, beliau berdoa, "Ya Allah, limpahkanlah karunia kepada keluarga Abu Aufa." (HR Bukhari dan Muslim).

Dari Wa'il bin Hujr r.a., Rasulullah saw. bersabda (mengenai seorang laki-laki yang mengirim zakat berupa unta yang bagus), "Ya Allah, berkahilah ia, begitu juga kepada untanya."

Imam Syafi'i berkata, "Disunahkan bagi imam--jika menerima zakat--mendoakan kepada orang yang memberinya dengan doa, "Aajaarakallahu Fiimaa A'thaita wa Baaraka Fiimaa Abqaita" (Semoga Allah memberi pahala kepada Anda atas zakat yang telah Anda berikan, dan memberi berkah kepada barang yang Anda sisakan). (Biko).

Referensi:
1. Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq
2. Tamaamul Minnah fit Ta'liq 'ala Fiqhis Sunnah, Syekh Muhammad Nashiruddin al-Albani

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Sumpah (Yamin)

Dalam kehidupan kita sehari-hari, rasanya tidak jarang kita temui perkataan-perkataan yang bernuansa sumpah, seperti demi Allah, demi Allah dan rasul-Nya, demi Tuhan dan lain sebagainya yang diucapkan oleh seseorang untuk mendukung argumentasi/alasannya atau untuk mempertahankan penolakannya terhadap sesuatu yang dituduhkan kepada dia. Kemudian, pertanyaan yang terlintas dalam benak kita adalah apakah perkataan semacam itu termasuk kategori sumpah (yamin) atau tidak. Hal ini mengingat perkataan itu diawali dengan kata 'demi'. Oleh karena itu, agar kasus-kasus yang semacam ini menjadi jelas dari tinjauan fikihnya, kami sebutkan sisi dan bagian yang terpenting dari sumpah (yamin) itu seperti sebagai berikut.

Defenisi Sumpah

Sumpah, menurut fikih, yaitu menggunakan nama-nama Allah SWT atau sifat-sifat-Nya untuk bersumpah. Contoh, "Demi Allah sungguh aku akan lakukan ini," atau "Demi Zat yang jiwa ragaku berada pada kekuasaan-Nya, sungguh aku akan lakukan ini," atau "Demi Zat yang membolak-balikkan sanubari-hati manusia, sungguh aku akan lakukan ini," dan sejenisnya.

Hal-Hal yang Dapat Digunakan untuk Bersumpah

Bersumpah itu hanya bisa dilakukan dengan menggunakan nama-nama Allah atau sifat-sifat-Nya. Karena, Nabi saw. bersumpah dengan Allah, Zat yang tiada Tuhan selain-Nya dan bersumpah dengan ucapannya, "Demi Zat yang jiwa ragaku berada pada kekuasaan-Nya." Demikian pula, Jibril as bersumpah dengan sifat izzah (menang/kuasa) Allah, maka Jibril berkata, "Demi sifat izzah-Mu (sifat kemenangan-Mu/kekuasaan-Mu) seseorang tidak akan mendengarkan surga kecuali dia pasti memasukinya." (HR Tirmizi seraya menyahihkannya).

Dengan demikian, seseorang tidak boleh bersumpah dengan selain nama-nama dan sifat-sifat Allah SWT, baik bersumpah dengan sesuatu yang diagungkan dan dimulyakan Allah atau bersumpah dengan Nabi saw. Hal ini berdasarkan sabda Nabi saw. di bawah ini:
"Barangsiapa bersumpah, hendaknya dia bersumpah dengan Allah, atau (jika tidak) hendaknya dia berdiam diri." (HR Bukhari dan Muslim).

"Janganlah bersumpah, kecuali dengan Allah, dan janganlah bersumpah kecuali kamu dalam keadaan benar." (HR Abu Daud dan Nasa'i).

"Barangsiapa bersumpah dengan selain Allah, maka dia telah musyrik." (HR Ahmad).

"Barangsiapa bersumpah dengan selain Allah, maka dia telah kafir." (HR Abu Daud dan al-Hakim).

Macam-Macam Sumpah

Sumpah itu ada tiga macam: sumpah palsu (yamin ghamus), sumpah tanpa sengaja (sumpah laghwu), dan sumpah yang sah (sumpah mun'aqidah).


  1. Sumpah palsu (yamin ghamus), yaitu seseorang bersumpah dengan sengaja untuk berbohong. Seperti, dia berkata, "Demi Allah sungguh aku membeli ini dengan harga Rp 50.000,00," padahal dia tidak membelinya dengan harga sebanyak itu, atau dia berkata, "Demi Allah sungguh aku telah melakukan hal ini," padahal dia tidak melakukannya. Sumpah ini disebut yamin ghamus (sumpah palsu), karena sumpah itu menjadikan pelakunya berdosa. Sumpah ini adalah sumpah yang disinyalir oleh sabda Nabi saw., "Barangsiapa bersumpah, dan dia berdusta dalam sumpah itu, untuk memakan harta seseorang muslim, maka dia pasti bertemu dengan Allah (pada hari kiamat nanti) dalam keadaan murka." (Muttafaq alaihi).
    Sumpah ini tidak cukup dibayar dengan kaffarah (penebus). Akan tetapi, pelakunya wajib bertobat dan memohon ampun kepada Allah SWT. Hal itu, karena besarnya dosa sumpah tersebut, apalagi jika sumpah palsu itu dimaksudkan untuk mengambil hak seorang muslim dengan cara yang tidak benar (batil).
  2. Sumpah laghwu, yaitu sumpah yang biasa diucapkan oleh seseorang muslim tanpa unsur kesengajaan. Seperti, orang yang memperbanyak kata "Tidak Demi Allah" dan "Ya Demi Allah" dalam pembicaraanya. Hal ini berdasarkan ucapan Aisyah r.a., "Sumpah laghwu adalah seseorang berkata di rumahnya 'tidak Demi Allah'." (HR Bukhari).

    Termasuk sumpah laghwu adalah seseorang bersumpah terhadap sesuatu, dia mengira sesuatu itu seperti ini, kemudian tiba-tiba perkiraannya meleset.

    Sumpah tersebut hukumnya berdosa, tetapi orang yang mengucapkannya tidak wajib membayar kaffarah, sebagaimana yang difirmankan Allah dalam Alquran, "Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja...." (Al-Maidah: 89).

  3. Sumpah yang sah (yamin mun'aqidah), yaitu sumpah yang niat awalnya dimaksudkan untuk sesuatu yang akan datang. Seperti, seorang muslim berkata, "Demi Allah sungguh akan aku lakukan hal ini," atau "Demi Allah sungguh tidak akan aku lakukan ini." Sumpah seperti ini pelakunya akan dikenai hukum (Allah) jika dia melanggar sumpahnya. Hal ini berdasarkan pada firman Allah SWT di atas, "…tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja...." (Al-Maidah: 89).

    Hukum sumpah tersebut adalah jika pelakunya melanggar sumpahnya, dia berdosa dan wajib membayar kaffarah untuk pelanggaran itu. Namun, jika dia melakukan (merealisasikan) sumpahnya, hilanglah dosa dari pelanggaran itu.

Kaffarah Sumpah

Kaffarah sumpah itu ada empat macam, yaitu:


  1. Memberikan makan kepada sepuluh orang miskin, setiap orangnya 1 mud (6 ons) makanan pokok/beras. Atau, mengumpulkan mereka semua diajak makan siang/makan malam sampai mereka kenyang. Atau, memberikan beras dan lauk kepada mereka.
  2. Memberikan kepada masing-masing dari mereka pakaian yang cukup untuk melakukan salat. Jika pelanggar sumpah itu memberikan pakaian kepada orang wanita, hendaknya dia memberikan pakaian yang bisa digunakan untuk melakukan salat, seperti mukena.
  3. Memerdekakan seorang budak mukmin.
  4. Berpuasa tiga hari berturut-turut jika mampu, jika tidak, berpuasa tiga hari secara terpisah.

Mengenai urutan kaffarah di atas, seseorang boleh memilih salah satunya. Namun, seseorang hendaknya tidak langsung memilih puasa, kecuali bila dia benar-benar tidak mampu melakukan salah satu dari ketiga hal di atas. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT yang artinya, "… maka kaffarah (melanggar) sumpah itu adalah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberikan pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan demikian, maka kaffarahnya melakukan puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarah-kaffarah sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar)...." (Al-Maidah: 89).

Hal-Hal yang Menggugurkan Kaffarah

Kaffarah dan dosa itu bisa gugur atas orang yang bersumpah lantaran dua hal, yaitu:


  1. Melakukan sesuatu yang dia bersumpah untuk meninggalkannya, atau meninggalkan sesuatu yang dia bersumpah untuk melakukannya, atau melakukan sesuatu yang disumpahi untuk ditinggalkannya, atau meninggalkan sesuatu yang disumpahi untuk dilakukannya, tetapi dia ketika melakukan atau meninggalkannya dalam keadaan lupa, atau khilaf (salah/tidak mengetahui akibatnya) atau dipaksa orang yang jabatan/kedudukannya lebih tinggi dari pada dia. Hal ini berdasarkan sabda Nabi saw., "Dicabut (beban taklif itu) dari umatku sebab kesalahan, kelupaan, atau karena mereka dipaksa melakukannya." (HR Bukhari).
  2. Dia menyelah-nyelah sumpahnya, seperti dia berkata, "Insya Allah (bila Allah menghendakiu)" atau "Kecuali Allah menghendaki" dan penyelahan itu dilakukan di tempat dia bersumpah. Hal ini berdasarkan sabda Nabi saw., "Barangsiapa bersumpah lalu dia berkata, 'Insya Allah', maka dia tidak melanggar sumpahnya." (HR Ashaabus Sunan).

    Ketika dia tidak melanggar sumpahnya, maka dia tidak berdosa dan tidak wajib membayar kaffarah.

Wajib Merealisasikan Sumpah

Jika seseorang bersumpah kepada saudaranya muslim untuk melakukan hal tertentu, wajib bagi dia merealisasikan sumpahnya dan tidak melanggarnya dengan cara meninggalkan hal yang dia bersumpah dengan hal itu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi saw. kepada seorang wanita yang mendapatkan hadiah kurma dari orang lain, lalu wanita itu makan sebagian kurma yang didapatkan itu dan meninggalkan sisanya. Kemudian, wanita itu bersumpah untuk memakan sisa kurma itu. Tiba-tiba dia enggan memakannya, maka Rasulullah saw. bersabda kepadanya, "Realisasikanlah sumpahmu, karena dosa itu ditanggung orang yang melanggar (sumpahnya)." (HR Ahmad dan para perawinya perawi hadis sahih). (Biko).

Sumber: Minhajul Muslim, Abu Bakar Jabir al-Jazaairi

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Aqiqah

Aqiqah adalah sembelihan yang disembelih untuk anak yang baru lahir. Pengarang kamus Mukhtaar ash-Shihaah mengatakan, "al-Aqiqah atau al-Iqqah adalah rambut makhluk yang baru dilahirkan, baik manusia maupun binatang.

Hukumnya

Aqiqah adalah sunah muakad, sekalipun orang tua dalam keadaan sulit. Aqiqah dilaksanakan Rasulullah saw dan para sahabat. Al-Laits berpendapat wajib, demikian pula Daud al-Dzahiri. Hukum-hukum yang berkaitan dengan aqiqah (kambing yang disembelihnya) adalah hukum yang berlaku untuk kurban. Hanya saja, aqiqah itu tidak diperbolehkan bergabung (musyarakah).

Keutamaannya (Fadhilahnya)

Dari Samurah ra, dari Nabi saw bersabda, "Setiap anak yang baru lahir itu tergadaikan dengan aqiqahnya, yang disembelih untuknya pada hari yang ketujuhnya. Ia dicukur dan diberi nama." (HR Ashabus Sunan).

Makna hadis tersebut menurut Imam Ahmad bin Hanbal ra adalah, "Bayi itu tertahan (tidak bisa memberikan) syafa'at kepada kedua orang tuanya." Artinya, jika bayi itu kelak menjadi anak yang saleh, ia di akhirat kelak tidak bisa memberikan syafaat kepada kedua orang tuanya sebelum diaqiqahkan, atau jika bayi itu meninggal sebelum diaqiqahi, ia di akhirat kelak tidak dapat memberikan syafaat kepada kedua orang tuanya. Sehingga, kedua orang tuanya menebus gadai tersebut dengan cara menyembelih kambing sebagai aqiqah untuknya.

Dari Salman bin Amir adh-Dhabiy ra, Nabi saw bersabda, "Untuk anak laki-laki aqiqahnya. Tumpahkanlah darah (menyembelih kambing) karenanya dan hilangkanlah sesuatu yang menyakiti dari dirinya." (HR al-Khamsah).

Aqiqah untuk Anak Laki-Laki dan Anak Perempuan

Yang paling baik (afdhal) untuk anak laki-laki itu disembelihkan dua ekor kambing/domba yang sama dan mirip dan umurnya juga bersamaan, sedangkan untuk anak perempuan disunahkan satu ekor. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ummu Kurz al-Ka'biyah, aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, "Untuk anak laki-laki dua kambing yang mirip dan untuk anak perempuan satu ekor kambing."

Akan tetapi, apabila kemampuan orang tua hanya satu ekor kambing saja, hal itu juga diperbolehkan dan ia sudah mendapatkan sunah yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dan Anas bin Malik ra seperti di bawah ini:
"Sesungguhnya Rasulullah saw pernah beraqiqah untuk Hasan satu kambing dan untuk Husein satu kambing." (HR Abu Daud dan Ibnu Hibban).

Waktu Penyembelihan (Pelaksanaan)

Jika memungkinkan, penyembelihan (pelaksanaan aqiqah) itu disunahkan pada hari yang ketujuh. Apabila tidak, pada hari yang keempat belas. Jika keduanya juga tidak memungkinkan, pada hari yang keduapuluh satu. Namun, jika ketiga kelipatan itu juga tidak memungkinkan, kapan saja boleh dilakukan. Rasulullah saw bersabda, "Disembelih pada hari yang ketujuh, hari yang keempat belas, dan hari yang keduapuluh satu."

Pemberian Nama dan Mencukur Rambut

Disunahkan bagi orang tua untuk memberikan nama kepada anaknya yang baru lahir dengan nama yang bagus. Karena, nama itu memberikan pengaruh kepada yang mempunyai nama, di saat terjaganya maupun saat tidurnya, dan seakan-akan ia merupakan simbol dari jatidiri si empunya. Dalam hadis Nabi saw disebutkan, dari Abu Hurairah ra, "Rasulullah saw menyunahkan nama yang baik...." (HR Abus Syekh).

Umar ra pernah bertanya kepada seseorang tentang namanya, lalu orang itu menjawab, "Jamrah (bara api)," Umar bertanya lagi, "Siapa bapakmu?" dia menjawab, "Syihab (obor)," Umar bertanya lagi, "Dari keturunan siapa?" Dia menjawab, "Dari al-Huraqah (kebakaran)," Umar bertanya lagi, "Lalu mana rumahmu?" Dia menjawab, "Di Harratin Naar (neraka yang panas)," Umar bertanya lagi, "Lalu di mana tempat tinggalmu?" Dia menjawab, "Di Dzati Ladzaa (Neraka Ladza)." Kemudian Umar berkata, "Pergilah, tempat tinggalmu pasti terbakar." Lalu orang itu pergi, dan ternyata dia menemukan tempat tinggalnya terbakar.

Rasulullah saw bersabda, "Nama-nama yang paling disukai Allah SWT adalah Abdullah dan Abdurrahman, nama yang paling mengena (benar) adalah Harits (orang yang berusaha) dan Hammam (yang bercita-cita) dan sejelek-jelek nama adalah Harb (perang) dan Murrah (pahit)." (HR Bukhari, Muslim dan Nasa'i)

Selain itu, disunahkan pula bagi orang tua si bayi untuk mencukur rambut bayi itu dan bersedekah seberat timbangan rambutnya dengan perak (atau nilainya), dan jika kesulitan, maka boleh ditimbang dengan emas. Hal ini berdasarkan dengan hadis Nabi saw, dari Ali bin Abu Thalib ra, Rasulullah saw pernah mengaqiqahkan Hasan dengan satu kambing dan bersabda, "Wahai Fathimah! Cukurlah kepalanya, dan bersedekahlah dengan senilai perak (atau emas) seberat timbangan rambutnya." (HR Tirmidzi dan Ahmad)

Azan di Telinga Anak yang Baru Dilahirkan

Termasuk disunahkan mengazankan anak yang baru lahir di telinga kanan. Hal ini dimaksudkan agar yang pertama kali ia dengar adalah nama Allah.

Dari Rafi' ra berkata, "Aku pernah melihat Nabi saw mengazankan (seperti) azan salat di telinga Hasan bin Ali waktu Fathimah melahirkannya." (HR Ahmad, Abu Daud dan Tirmizi).

Dari Hasan bin Ali ra, Nabi saw bersabda, "Barangsiapa dikaruniai anak lalu ia mengazankannya di telinganya yang kanan dan mengiqamahkannya di telinganya yang kiri, maka anak itu tidak akan terkena bahaya gangguan setan."

Menindik Telinga Anak

Dalam kitab-kitab mazhab Hambali dikatakan, menindik telinga anak wanita untuk perhiasan diperbolehkan (jaiz) dan dimakruhkan (haramkan) untuk anak laki-laki. Di dalam Fatawa Qadhi Khan, pengikut mazhab Hanafi, disebutkan, "Tidak masalah (boleh-boleh saja) menindik telinga anak perempuan. Mereka pada zaman jahiliyah juga melakukan hal itu, tetapi Rasulullah saw tidak membantahnya."

Referensi:
1. Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq
2. Shahih Sunan Tirmizi, Muhammad Nashiruddin al-Albani
3. Zaadul Ma'ad, Ibnu Qayyim al-Jauziyah

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesi

Kurban

Kurban berasal dari bahasa Arab, yaitu al-udhhiyyah dan adh-dhahiyyah yang berarti binatang sembelihan, seperti unta, sapi (kerbau), dan kambing yang disembelih pada hari raya Idul Adha dan hari-hari tasyriq sebagai taqarrub kepada Allah.

Syariat Kurban

Allah SWT telah mensyariatkan kurban dengan firman-Nya, "Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membencimu dialah yang terputus." (Al-Kautsar: 1 -- 3).

"Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagai syiar Allah. Kamu banyak memperoleh kebaikan dari padanya, maka sebutlah nama Allah ketika kamu menyembelihnya." (Al-Hajj: 36).

Keutamaan Kurban

Dari Aisyah ra, Nabi saw bersabda, "Tidak ada suatu amalan pun yang dilakukan oleh manusia pada hari raya Kurban yang lebih dicintai Allah SWT dari menyembelih hewan Kurban. Sesungguhnya hewan Kurban itu kelak pada hari kiamat akan datang beserta tanduk-tanduknya, bulu-bulunya dan kuku-kukunya. Dan sesungguhnya sebelum darah Kurban itu menyentuh tanah, ia (pahalanya) telah diterima di sisi Allah, maka beruntunglah kalian semua dengan (pahala) Kurban itu." (HR Tirmidzi).

Hukum Kurban

Ibadah kurban hukumnya sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan). Bagi orang yang mampu melakukannya lalu ia meninggalkan hal itu, maka ia dihukumi makruh. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa Nabi saw pernah berkurban dengan dua kambing kibasy yang sama-sama berwarna putih kehitam-hitaman dan bertanduk. Beliau sendiri yang menyembelih kurban tersebut, dan membacakan nama Allah serta bertakbir (waktu memotongnya).

Dari Ummu Salamah ra, Nabi saw bersabda, "Dan jika kalian telah melihat hilal (tanggal) masuknya bulan Dzul Hijjah, dan salah seorang di antara kamu ingin berkurban, maka hendaklah ia membiarkan rambut dan kukunya." HR Muslim

Arti sabda Nabi saw, " …ingin berkorban…" adalah dalil bahwa ibadah kurban ini sunnah, bukan wajib.

Diriwayatkan dari Abu Bakar dan Umar ra bahwa mereka berdua belum pernah melakukan kurban untuk keluarga mereka berdua, lantaran keduanya takut jika perihal kurban itu dianggap wajib.

Hikmah Kurban

Ibadah kurban disyariatkan Allah untuk mengenang Nabi Ibrahim as dan sebagai suatu upaya untuk memberikan kemudahan pada hari Id, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah saw, "Hari-hari itu tidak lain adalah hari-hari untuk makan dan minum serta berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla."

Binatang yang Diperbolehkan untuk Kurban

Binatang yang boleh untuk kurban adalah onta, sapi (kerbau) dan kambing. Untuk selain yang tiga jenis ini tidak diperbolehkan. Allah SWT berfirman, "… supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah dianugerahkan Allah kepada mereka." (Al-Hajj: 34).

Dan dianggap memadai berkurban dengan domba yang berumur setengah tahun, kambing jawa yang berumur satu tahun, sapi yang berumur dua tahun, dan unta yang berumur lima tahun, baik itu jantan atau betina. Hal ini sesuai dengan hadis-hadis di bawah ini:


  1. Dari Abu Hurairah ra berkata, aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, "Binatang kurban yang paling bagus adalah kambing yang jadza' (powel/berumur satu tahun)." (HR Ahmad dan Tirmidzi).
  2. Dari Uqbah bin Amir ra, aku berkata, wahai Rasulullah saw, aku mempunyai jadza', Rasulullah saw menjawab, "Berkurbanlah dengannya." (HR Bukhari dan Muslim).
  3. Dari Jabir ra, Rasulullah saw bersabda, "Janganlah kalian mengurbankan binatang kecuali yang berumur satu tahun ke atas, jika itu menyulitkanmu, maka sembelihlah domba Jadza'."

Berkorban dengan Kambing yang Dikebiri

Boleh-boleh saja berkurban dengan kambing yang dikebiri. Diriwayatkan oleh Ahmad dari Abu Rafi', bahwa Rasulullah saw berkurban dengan dua ekor kambing kibasy yang keduanya berwarna putih bercampur hitam lagi dikebiri. Karena dagingnya lebih enak dan lebih lezat.

Binatang-Binatang yang Tidak Diperbolehkan untuk Kurban

Syarat-syarat binatang yang untuk kurban adalah bintang yang bebas dari aib (cacat). Karena itu, tidak boleh berkurban dengan binatang yang aib seperti di bawah ini:


  1. Yang penyakitnya terlihat dengan jelas.
  2. Yang picak dan jelas terlihat kepicakannya.
  3. Yang pincang sekali.
  4. Yang sumsum tulangnya tidak ada, karena kurus sekali.
  5. Rasulullah saw bersabda, "Ada empat penyakit pada binatang kurban yang dengannya kurban itu tidak mencukupi. Yaitu yang picak dengan kepicakannya yang nampak sekali, dan yang sakit dan penyakitnya terlihat sekali, yang pincang sekali, dan yang kurus sekali." (HR Tirmidzi seraya mengatakan hadis ini hasan sahih).
  6. Yang cacat, yaitu yang telinga atau tanduknya sebagian besar hilang.

Selain binatang lima di atas, ada binatang-binatang lain yang tidak boleh untuk kurban, yaitu:

  • Hatma' (ompong gigi depannya, seluruhnya).
  • Ashma' (yang kulit tanduknya pecah).
  • Umya' (buta).
  • Taula' (yang mencari makan di perkebunan, tidak digembalakan).
  • Jarba' (yang banyak penyakit kudisnya).

Juga tidak mengapa berkurban dengan binatang yang tak bersuara, yang buntutnya terputus, yang bunting, dan yang tidak ada sebagian telinga atau sebagian besar bokongnya tidak ada. Menurut yang tersahih dalam mazhab Syafi'i, bahwa yang bokong/pantatnya terputus tidak mencukupi, begitu juga yang puting susunya tidak ada, karena hilangnya sebagian organ yang dapat dimakan. Demikian juga yang ekornya terputus. Imam Syafi'i berkata, "Kami tidak memperoleh hadis tentang gigi sama sekali."

Waktu Penyembelihan

Untuk kurban disyaratkan tidak disembelih sesudah terbit matahari pada hari 'Iduladha. Sesudah itu boleh menyembelihnya di hari mana saja yang termasuk hari-hari Tasyrik, baik malam ataupun siang. Setelah tiga hari tersebut tidak ada lagi waktu penyembelihannya.

Dari al-Barra' ra Nabi saw bersabda, "Sesungguhnya yang pertama kali kita lakukan pada hari ini (Iduladha) adalah kita salat, kemudian kita kembali dan memotong kurban. Barangsiapa melakukan hal itu, berarti ia mendapatkan sunnah kami. Dan barangsiapa yang menyembelih sebelum itu, maka sembelihan itu tidak lain hanyalah daging yang ia persembahkan kepada keluarganya yang tidak termasuk ibadah kurban sama sekali."

Abu Burdah berkata, "Pada hari Nahar, Rasulullah saw berkhotbah di hadapan kami, beliau bersabda: 'Barangsiapa salat sesuai dengan salat kami dan menghadap ke kiblat kami, dan beribadah dengan cara ibadah kami, maka ia tidak menyembelih kirban sebelum ia salat'."

Dalam hadis yang lain, Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa yang menyembelih sebelum salat, maka sesungguhnya ia menyembelih untuk dirinya. Dan barangsiapa yang menyembelih setelah salat dan khotbah, sesungguhnya ia telah sempurnakan dan ia mendapat sunnah umat Islam." (HR Bukhari dan Muslim).

Bergabung dalam Berkurban

Dalam berkurban dibolehkan bergabung jika binatang korban itu berupa onta atau sapi (kerbau). Karena, sapi (kerbau) atau unta berlaku untuk tujuh orang jika mereka semua bermaksud berkurban dan bertaqarrub kepada Allah SWT.

Dari Jabir ra berkata, "Kami menyembelih kurban bersama Nabi saw di Hudaibiyyah seekor unta untuk tujuh orang, begitu juga sapi (kerbau)." (HR Muslim, Abu Daud, dan Tirmidzi)

Pembagian Daging Kurban

Disunahkan bagi orang yang berkurban memakan daging kurbannya, menghadiahkannya kepada para kerabat, dan menyerahkannya kepada orang-orang fakir. Rasulullah saw bersabda, "Makanlah dan berilah makan kepada (fakir-miskin) dan simpanlah."

Dalam hal ini para ulama mengatakan, yang afdhal adalah memakan daging itu sepertiga, menyedekahkannya sepertiga dan menyimpannya sepertiga.

Daging kurban boleh diangkut (dipindahkan) sekalipun ke negara lain. Akan tetapi, tidak boleh dijual, begitu pula kulitnya. Dan, tidak boleh memberi kepada tukang potong daging sebagai upah. Tukang potong berhak menerimanya sebagai imbalan kerja. Orang yang berkurban boleh bersedekah dan boleh mengambil kurbannya untuk dimanfaatkan (dimakan).

Menurut Abu Hanifah, bahwa boleh menjual kulitnya dan uangnya disedekahkan atau dibelikan barang yang bermanfaat untuk rumah.

Orang yang Berkurban Menyembelihnya Sendiri

Orang yang berkorban yang pandai menyembelih disunahkan menyembelih sendiri binatang kurbannya. Ketika menyembelih disunahkan membaca, "Bismillahi Allahu Akbar, Allahumma haadza 'an…" (Dengan nama Allah dan Allah Maha Besar, ya Allah kurban ini dari …[sebutkan namanya]).

Karena, Rasulullah saw menyembelih seekor kambing kibasy dan membaca, "Bismillahi wallahu Akbar, Allahumma haadza 'anni wa'an man lam yudhahhi min ummati" (Dengan nama Allah, dan Allah Maha Besar, Ya Allah sesungguhnya (kurban) ini dariku dan dari umatku yang belum berkurban)." (HR Abu Daud dan Tirmidzi).

Jika orang yang berkurban tidak pandai menyembelih, hendaknya dia menghadiri dan menyaksikan penyembelihannya.

Dari Abu Sa'id al-Khudri ra, Rasulullah saw bersabda, "Wahai Fatimah, bangunlah. Dan saksikanlah kurbanmu. Karena, setetes darahnya akan memohon ampunan dari setiap dosa yang telah kau lakukan. Dan bacalah: 'Sesungguhnya salatku, ibadahku--korbanku--hidupku, dan matiku untuk Allah Tuhan semesta Alam. Dan untuk itu aku diperintah. Dan aku adalah orang-orang yang pertama-tama menyerahkan diri kepada Allah,' Seorang sahabat lalu bertanya, 'Wahai Rasulullah saw, apakah ini untukmu dan khusus keluargamu atau untuk kaum muslimin secara umum?' Rasulullah saw menjawab, 'Bahkan untuk kaum muslimin umumnya'."

Referensi:
1. Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq
2. Bidaayatul Mujtahid, Ibnu Rusyd
3. Al-Muhadzdzab fi Fiqh Madzhabil Imam as- Syafi'i, Abu Ishaaq as-Syiraazi

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Design by Abdul Munir Visit Original Post Islamic2 Template